Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
Lagi..lagi..dan lagi…bicara
tentang cinta memang tidak akan ada habisnya. Mengapa demikian? Karena
sesungguhnya manusia tercipta dengan cinta dan atas nama cinta. Dalam hati
manusia pun terfitrahkan untuk memiliki cinta dan merasa butuh akan cinta.
Semua orang boleh saja berbicara
cinta dan merasakannya.
Lantas, apa sebenarnya makna cinta itu?
Lantas, apa sebenarnya makna cinta itu?
1.Arti Cinta
Makna cinta dapat diuraikan
menjadi dua, yaitu cinta imaani dan cinta syahwati. Lantas, apa perbedaan kedua
jenis cinta itu?
a.
Cinta
syahwati
Dalam kamus Al-Munawir kata
syahwat berasal dari kata syahwata-syahwatan, yang memiliki banyak arti di
antaranya adalah menyukai, menggemari, yang bertambah rakus, keinginan, libido,
yang berkeinginan, yang diingini. So, dari kata ini kita dapat mengetahui bahwa
cinta syahwati adalah cinta yang dilandasi dengan keinginan untuk menyukai,
menggemari, menimbulkan rasa ingin yang terus-menerus.
Hal tersebut sesuai dengan bunyi
surat Ali Imran ayat 14, yaitu:
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwati), yaitu:
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia
dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."
Berdasarkan ayat di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa cinta sesungguhnya suatu keindahan yang merupakan
karunia Allah bagi hamba-Nya. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita
mengelola cinta itu agar tidak menjerumuskan.
Lantas, sebenarnya bagaimana
seseorang itu dapat merasakan cinta seperti yang diuraikan dalam dalam surat
Ali Imran tadi ya? Ada penelitian ilmiah mengenai bagaimana seseorang dapat
merasakan jatuh cinta. Berikut penjelasannya.
FISIOLOGI CINTA-TEORI PEA
Teori PEA ini dikembangkan oleh
Helen Fischer. Fischer mengatakan bahwa hormon-hormon yang bekerja pada orang
yang tengah jatuh cinta atau menyukai sesuatu adalah hormone PEA (Phenil-Ethyl-Amine)
yang letaknya terdapat di otak. Berikut proses hormon ini bekerja.
Ketika kontak mata sedang
berlangsung, pada saat itu tertanamlah suatu kesan. Inilah fase pertama.
Otak bekerja bagaikan komputer yang menyajikan sejumlah data, dan
mencocokkannya dengan sejumlah data yang pernah terekam sebelumnya. Ia mencari
apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan
oleh lawan jenis bisa menjadi pemicu timbulnya rasa romantis.
Fase kedua,
yaitu munculnya hormon Phenilethylamine (PEA) yang diproduksi otak.
Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara otomatis senyum pun
dilontarkan. Hormon dopamine dan norephinephrine yang juga terdapat
dalam syaraf manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi
pemicu timbulnya gelora cinta.
Fase ketiga, yaitu
ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins,
senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak. Saat inilah tubuh
merasa nyaman, damai, dan tenang.
b. Cinta Imaani
Berbeda dengan cinta syahwati
yang lebih banyak unsur fisiknya, cinta imaani lahir dari ketulusan iman kepada
Allah Swt., bukan sekadar memenuhi naluri fisik belaka.
“Katakanlah, jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggullah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (At Taubah: 24)
Dalam hadis disebutkan,
“Barang siapa yang mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah dan memberi karena Allah, maka sungguh
telah sempurna imannya.” (H.R. Abu Dawud)
Dengan demikian, cinta imaani
adalah cinta yang mendasarkan segalanya pada Allah Swt. dan cinta kepada
hal-hal lain tidak boleh melebihi cinta kepada Allah.
So, what kind of your love
do you have? Cinta syahwati or cinta imaani?
2. Mengelola Cinta
Dalam bentuk hubungan yang lepas
dari nilai-nilai syar’i, tak pernah ada cinta. Yang ada hanya nafsu dan zina
dengan segala topeng yang mungkin sulit dikenali, kecuali oleh orang berhati
jernih yang siap menerima kebenaran.
Zina, mungkin juga berupa
pacaran yang oleh orang tua modern dikatakan sebagai anak saya masih tahu
batas-batasnya. Batas apa? Demi Allah, catatan zina tak hanya menggores apa
yang ada di antara pusat dan lutut. Semua indera dan anggota tubuh bisa jadi
terdakwa. Mata, telinga, lisan, tangan, kaki, juga angan. Di bagian tubuh mana
pun, ina mendudukkan diri sebagai potensi celaka yang harus diwaspadai.
“Telah tertulis atas anak Adam
nasibnya dari zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tidak bisa tidak. Maka kedua
mata, zinanya adalah memandang. Kedua telinga, zinanya berupa
menyimakdengarkan. Lisan, zinanya berkata. Tangan, zinanya menyentuh. Kaki,
zinanya berjalan. Dan zinanya hati adalah ingin dan angan-angan. Maka akan
dibenarkan hal ini oleh kemaluan, atau didustakannya.” (H.R. Muslim, dari Abu
Hurairah)
Islam memposisikan sesuatu dalam
porsinya yang pas dan menentramkan. Kita tidak menjumpai perintah, bahkan
terlarang untuk membunuh cinta dan hawa nafsu dengan merahibkan diri. Dan tentu
sebaliknya, kita tidak diperkenankan untuk mengumbarnya menjadi sumber
penyakit, malapetaka, dan bencana kemasyarakatan. Islam meletakkan cinta dan
hawa nafsu dalam kemuliaan. Kemuliaan berarti kendali terhadapnya yang dipenuhi
rasionalitas, kemanfaatan, jiwa pelestarian, pembangunan, dan kematangan.
Maka Islam menghadirkan, bahkan
sangat menganjurkan solusi bagi cinta dan syahwat itu: pernikahan. Sebuah
ikatan yang menghalalkan apa yang sebelumnya haram. Sebuah ikatan yang
menjadikan apa yang sebelumnya adalah dosa menjadi pahala. Sebuah ikatan yang
mencerdaskan, mendewasakan, mematangkan, dan membuat hidup begitu bermakna.
Wallahu a’lam bishawab
Dikutip langsung dengan
penyuntingan dari buku:
Remaja Bicara Cinta,
Izatul Jannah
Nikmatnya Pacaran Setelah
Pernikahan, Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar