Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
Tak sekalipun aku terpikir bahwa aku akan mengalami
hal semacam ini. Hal yang mungkin juga dialami beberapa orang dalam hidupnya.
Entah mengapa, aku merasa semua ini terasa seperti kutukan. Bayangkan saja, aku
harus memandikan, memakaikan pampers, menyuapi, belum lagi kalau cerewetnya
sudah menjadi-jadi..Hmm..kepalaku rasanya mau pecah..!!!
“Bintang..! Papa mau ke WC..!” Papa mulai berteriak-teriak meminta tolong. Ia memang sudah tak mampu lagi berjalan akibat stroke yang dideritanya.
“Sabar kenapa ya..?!!! Emangnya tangan mesin apa?!!!”
timpal mama dengan volume suara yang tak kalah keras kepada papa yang masih
rewel. Kalau sudah begini, rasanya aku ingin sekali bersembunyi di antartika
atau tempat mana saja yang tak ada penghuninya. Huh..! Kesal, marah, kecewa,
merasa terkutuk, semua campur aduk kurasakan.
Sampai suatu ketika, aku menyaksikan pemandangan yang
sungguh membuat hatiku miris. Seorang anak laki-laki berjalan cepat di depan
ibunya yang terlihat berjalan dengan terpincang-pincang. Anak laki-laki itu,
jangankan menolong ibunya, ia malah memarahi ibunya itu karena tak bisa
berjalan cepat. Hmm..aku jadi terpikir, padahal dulu ketika ia masih kecil dan
belum bisa berjalan sendiri, pastinya sang ibulah yang dengan sabar dan setia
mendampinginya menapaki langkah demi langkah dalam kehidupannya.
Tiba-tiba, air mataku meleleh. Aku jadi ingat papa.
Kondisi papa jauh lebih buruk daripada ibu itu. Lantas, bagaimana sikapku
terhadapnya? Tak jauh berbeda dengan sikap anak laki-laki tadi. Aku juga sering
memarahi papa jika ia sudah mulai berteriak-teriak menyuruh ini dan itu karena
ketidakmampuannya untuk berjalan. Aku bisa merasa miris dan begitu kasihan pada
ibu itu, juga mengutuki sikap anak laki-lakinya yang tak tahu terima kasih itu.
Namun, bagaimana dengan sikapku pada papa?
Lalu, kenangan masa kecilku bersama papa pun mulai
bermunculan dalam ingatan. Papa yang dulu begitu gagah, melindungiku,
mengantarku ke sekolah, bermain bersama, dan membelikan jajanan yang kusukai.
Papa juga yang kerap mengajakku jalan-jalan. Bahkan dulu, kami seringkali
berjalan-jalan keliling desa, yang kami namai “Kempong to Kempong”. Air mataku
kian mengalir deras, mengingat semua kejadian itu, dan membandingkannya dengan
masa kini. Papa yang telah lemah tak berdaya, yang berjalan pun sudah tak
mampu..kini hanya sering terkulai di tempat tidur atau hanya duduk-duduk di
ruang tamu.
Papa… aku sungguh rindu pada kenangan-kenangan kita
dulu. Mungkin, hal itu memang takkan pernah terulang kembali. Mungkin, memang
sudah saatnya kini, aku lebih bersabar dan lebih baik dalam merawat papa yang
berada dalam kondisi stroke dan usia yang kian senja. Mungkin aku hanya mampu
memperlihatkan rasa sayangku bukan dengan kata-kata, melainkan dengan caraku
merawat papa. Aku pun akan berusaha
memberikan yang terbaik agar papa tetap bisa menikmati hidup meski dalam
kondisi menyedihkan seperti ini.
Papa, meski aku tak pernah mengucapkannya, aku
yakin papa pasti dapat merasakan bahwa aku sangat menyayangi papa. I love you
pa…
0 komentar:
Posting Komentar