Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
Haduh, bisa telat nyampe ke konser ni kalo kayak gini.
Aku pun kian mempercepat langkah. Aku tidak ingin terlambat menyaksikan secara
langsung idolaku, Maher Zein, bernyanyi di atas panggung. Pluk…hmm..karena
terburu-buru, sapu tanganku pun terjatuh. Ketika aku berbalik untuk
mengambilnya, tiba-tiba seorang pria berwajah tampan mengambilkan sapu tangan
itu dan memberikannya padaku. Sesaat aku terperangah.. wah, tampan sekali.
Pikirku dalam hati.
“Ini sapu tangan Anda.” ucap pria itu sambil tersenyum
manis. Maniiiis sekali. Setelah memberikan sapu tanganku, pria itu pun lantas
pergi. Aku masih tertegun dalam sebuah sensasi rasa yang amat aneh. Ada sesuatu
yang berdesir dalam hatiku. Aku berpikir sepertinya wajah pria itu tidak asing.
Tunggu, tunggu..bukankah dia…dia Maher Zein yang konsernya ingin kusaksikan
itu? Jadi..jadi tadi aku bertemu dengan Maher Zein..??!!?
“Ada apa sih, Kak?” tanyaku kesal. Kesal karena Kak Farah telah membuyarkan lamunanku
yang indah tadi.
“Yee…kamu tuh yang ada apa. Dari tadi dipanggil dieeem
aja. Hayo…lagi ngelamun ya? Ngelamunin apa? Hmm..?” tanya Kak Farah penasaran,
seolah hendak menebak isi kepalaku.
“Nggak kok Kak. Nggak ngelamunin apa-apa.” tentu saja
aku mengelak, aku takmau Kak Farah sampai tahu apa yang kulamunkan tadi. Malu
dong ah..! untuk mengalihkan perhatian, aku pun bertanya lagi, “Emang kakak
kenapa manggil aku?”
“Mmm…kakak mau minta tolong sama kamu. Beliin kakak obat dong
di warung. Kakak lagi sakit perut nih.”
“Oh, iya kak…iya.”
Kak Farah pun memberikan sejumlah uang padaku, lalu
aku pergi ke warung untuk membeli obat yang dibutuhkannya. Sambil jalan,
kayaknya asyik ni ngelanjutin lamunan yang tadi…hi2…
***
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Aku kembali
memutar lagu Insya Allahnya Maher
Zein di MP3ku. Do you know why I really
like this song? Karena penyanyinya sangat keren. Aku ingin banget bisa
ketemu sama dia. Habis, dia ganteng banget sih, suaranya juga baguuus banget!
Selain itu, lagu-lagunya begitu menginspirasi dan mampu menghiburku dari rasa
sedih dan kesepian. Lagu itu bisa membuatku lebih bersemangat menjalani
kehidupanku yang terasa gersang ini.
Meski aku bernama Cinta, hidupku sangatlah miskin akan cinta. Ayahku meninggal dunia
ketika aku masih berusia 5 tahun. Dan ibuku? Ia meninggal saat melahirkanku. Bisa
dibilang aku adalah penyebab kematiannya. Aku jadi sering merasa seolah-olah
aku ini adalah pembunuh ibuku sendiri. Sejak itu, aku pun tinggal bersama bibi,
paman, dan Kak Farah di rumah ini. Aku memiliki beberapa sahabat, tapi aku
tidak memiliki banyak teman. Dapat dibayangkan betapa menyedihkannya
kehidupanku. Tak terasa air mata kembali berlinang di pipiku. Malam ini,
seperti malam-malam kemarin, aku kembali menangis. Menangisi nasib yang
menyedihkan dan kering akan cinta.
“Cinta, ayo bangun! Kamu kan harus menyapu dan ngepel sebelum
berangkat ke sekolah!” ucap bibi sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Iya, Bi, aku bangun.” Dalam keadaan masih mengantuk, aku
mengerahkan seluruh tenaga untuk bangun dari tempat tidur.
Setelah mengerjakan tugas rumah dan sarapan, aku pun
berangkat ke sekolahku SMA Biru Langit bersama Kak Farah. Kebetulan kami satu arah.
Sekolahku dan kampus Kak Farah berada di lokasi yang berdekatan. Sepulang
sekolah dan makan siang, aku mencuci piring dan belajar. Ya begitulah kegiatan
sehari-hariku. Aku tidak bisa pergi jalan-jalan bersama teman seperti
remaja-remaja lainnya seusiaku karena aku hanya numpang di rumah ini. Aku harus
melakukan beberapa pekerjaan rumah sebagai balas budi karena telah diberi
tempat di rumah ini.
“Cinta, nanti malam kamu nggak ke mana-mana kan?” tanya
Bibi padaku.
“Nggak Bi, emangnya kenapa?” Aku balik bertanya.
“Rencananya Bibi, Paman, dan Kak Farah mau makan malam
bersama di restoran mewah. Kamu nanti malam jaga rumah ya.” Apa? Mereka mau
makan-makan tanpa mengajak aku, dan malah menyuruhku untuk menjaga rumah? Tega
sekali mereka melakukan itu padaku.
“Mmm…Iya, Bi” jawabku singkat sambil. Aku bisa apa?
Aku hanya bisa menurut pada permintaan bibku karena kenyataannya aku kan hanya
numpang di sini. Hmm..rasanya sedih sekali. Tapi aku tidak boleh menangis….aku
harus tetap semangat. Ya, semangat!
***
“Kami berangkat dulu ya. kamu jaga rumah baik-baik ya
Cinta.” kata Bibi saat akan pergi keluar bersamapaman dan Kak Farah.
“Iya, Bi.” jawabku pasrah.
“Ingat, kunci pintu dan tutup semua gorden jendela sebelum
kamu tidur ya.” Pesan paman.
“Iya, paman.”
“Dah… Cinta.” kata Kak Farah sambil melambaikan
tangan. Mereka pun pergi dengan penuh senyum kegembiraan Tinggallah aku
sendirian di rumah ini. Hmm…ya begitulah nasibku yang amat menyedihkan. Ah,
andai saja aku masih punya ibu dan ayah…pastinya hidupku takkan terasa sesedih
ini. ya Allah..
Aku tidak bisa tidur dan terus menunggu Paman, Bibi,
dan Kak Farah pulang. Sudah pukul 12 malam, tapi mereka belum pulang juga.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan memanggilku dari ruang tamu.
”Cintaaa!”
Aku pun segera menuju ruang tamu. Tiba-tiba keadaan menjadi gelap. Mati listrik! Ya ampun,
aku tidak bisa melihat apa-apa. Hmm..lengkap sudah kesusahanku malam ini.
Dengan tertatih, aku pun terus berjalan menuju ruang tamu. Tiba-tiba, lampu kembali
menyala. Di sini, di ruang tamu ini, aku melihat wajah-wajah yang kukenal. Paman,
Bibi, Kak Farah, dan…tunggu..mereka kan Leni, Fitri, dan Sri sahabat-sahabatku.
Sedang apa mereka di sini malam-malam begini? Aku tidak sedang bermimpi kan?
“Cinta, kenapa kamu bengong begitu?” pertanyaan bibi barusan membuyarkan lamunanku.
“Tahu ni, jangan bengong aja ah! Ini kan hari ulang tahun kamu.” Lanjut
Kak Farah dengan senyum mengembang.
“Ulang tahun ke-17, sweet seventeen!” Seru Fitri juga
diikuti dengan senyuman lebar.
Ulang tahun? Memangnya ini tanggal berapa? Oh iya, hari
ini kan tanggal 15 Februari. Iya, benar, ini kan hari ulang tahunku.
“Selamat, ya, Cinta. Semoga kamu bahagia selalu…dan
senantiasa diberkahi oleh Allah.” ucap Leni tulus.
Satu per satu mereka pun menyalami dan mencium pipi
kanan dan pipi kiriku sambil memberikan ucapan selamat. Leni, Fitri, dan Sri
memberikan kado ulang tahun untukku. Kak Farah dan bibi juga tidak ketinggalan
memberikan hadiah dengan kertas kado yang cantik untukku. Lalu kami semua
duduk. Aku membuka satu per satu kado yang mereka berikan. Leni memberiku jam
yang sangat cantik. Kado dari Fitri adalah mukena berwarna biru dengan renda di
pinggirannya, cantik. Aku suka sekali. Sedangkan kado dari Sri adalah sebuah
buku yang berjudul “La Tahzan for Teen”
Hmm…arti dari judul buku ini adalah jangan bersedih ya? Oke, terima kasih sekali
sobat, sepertinya hadiah ini akan berguna sekali untukku yang sering berada
dalam kesedihan. Hadiah dari Bibi adalah sebuah gelang yang manis sekali,
sedangkan Kak Farah memberikanku jilbab yang juga sangat cantik. Wah, pokoknya
aku suka sekali hadiah dari mereka. Aku merasa terharu sekali dengan kejutan
ini. Aku tidak menyangka mereka akan melakukan hal istimewa ini padaku. Aku
bahagia sekali.
“Oh, ya, paman, paman belum memberi hadiah ni buat
Cinta.” ujar Bibi.
“Oh, iya, paman lupa. Nah, Cinta mintalah apa yang
paling kamu inginkan.” sejenak aku
termenung. Yang paling aku inginkan?
“Mmm…paman, sebenarnya ada sesuatu yang paling aku
inginkan. Tapi, dapatkah paman meberikannya padaku?”
“Apa itu
Cinta?”
“Aku…
aku ingin sekali bertemu dengan ibu. Sekali saja dalam hidupku. Bisakah hal itu
terwujud paman?” tanyaku kelu. Sejenak semua yang ada di ruangan itu terdiam. Lalu
tiba-tiba Bibi berkata, “Tentu saja bisa!”
“Benarkah?” tanyaku penasaran. “Mungkinkah hal itu terjadi?”
“Cinta, bukankah kamu sekarang sedang melihatnya?
Orang yang ada di hadapan kamu ini, yang
sedang berbicara padamu ini?”
“Bibi, tentu saja itu berbeda. Bibi adalah bibi
saya..”
“Kenapa berbeda? Kalau bibi bisa menganggapmu sebagai
anak sendiri, mengapa kamu tidak bisa menganggap bibi sebagai ibu kamu
sendiri?..... Cinta, bibi merawat kamu sejak kamu baru lahir. Bibi menggendong
dengan tangan bibi sendiri ketika kamu baru saja lahir dan selesai dimandikan
oleh suster. Sejak saat itulah ada getar rasa di dalam hati bibi, sebuah rasa
yang mengatakan bahwa kamu adalah anak bibi. Semua yang bibi lakukan dan
berikan padamu sama dengan apa yang bibi berikan dan lakukan pada Farah. Bibi
memberikan tugas rumah mencuci pakaian dan memasak pada Farah, dan memberikanmu
tugas membersihkan rumah dan mencuci piring. Bila kamu nakal, bibi juga akan
memberikan hukuman sama seperti bibi akan meberikan hukuman pada Farah apabila
ia juga nakal. Bukankah selama ini tidak
ada yang berbeda? Jika bibi bisa mersakan kamu adalah anak bibi sendiri, kenapa
kamu tidak merasakan hal yang sama? Sejak dulu bibi ingin sekali kamu tidak pernah
merasa bahwa kamu tidak memiliki keluarga, tidak memiliki ibu. Mulai sekarang, jangan
pernah lagi merasa kamu nggak punya ibu ya Cinta, karena bibi akan sedih sekali
kalau kamu merasa seperti itu.”
Aku terharu, setelah mendengarkan ucapan bibi barusan,
aku pun baru menyadari betapa besar kasih sayang bibi padaku selama ini, dan
betapa bodoh dan jahatnya aku karena telah berpikir ia memperlakukanku hanya sebagai
orang yang menumpang di rumahnya sselama ini. Aku baru menyadari, memang benar
selama ini bibi memperlakukanku sama saja dengan Kak Farah, tidak berbeda sama sekali.
Akunya saja yang merasa kurang bersyukur.
“Nah, Cinta, sekarang permintaanmu sudah terkabulkan
kan? Fabi ayyi alaa I robbikumaa
tukadzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” ujar
Paman. Kata-kata paman barusan begitu lembut menelusup ke dalam hatiku,
sekaligus menyentak kesadaranku atas kasih saying mereka berdua padaku. Paman dan bibi yang sudah mencurahkan
cinta dan kasih sayangnya untukku, orang yang selalu berusaha agar aku tidak
merasa tak memiliki orang tua.
“Astaghfirullahal’azhim.
Bibi, maafkan aku.” spontan kata-kata itu terlontar dari mulutku. Air mata tak tertahan
lagi menetes dari pelupuk mataku. bibi pun lalu memelukku erat.
Kak Farah, Leni, Fitri, dan Sri yang menyaksikan hal
tersebut, juga tak kuasa menahan air
mata, mereka merasa terharu sekali.
Ya, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Kata-kata
itu sangat tepat diarahkan kepadaku. Aku memiliki bibi, paman, kakak, dan
sahabat yang sangat baik dan peduli padaku. Namun, aku seringkali mengeluh dan
merasa menjadi orang yang paling sendirian. Kini aku menyadari bahwa aku dinaungi
dan dihujani oleh banyak cinta. Terlebih lagi, aku memiliki satu cinta yang
akan selalu ada dan tidak akan pernah pergi dariku..yaitu cinta Sang Mahacinta,
Allah Swt. Jadi, untuk pantaskah aku mengeluh?
Fabi ayyi
alaa I robbikumaa tukadzibaan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
0 komentar:
Posting Komentar