Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

EMAS DI JIWA

            Konon, seorang pemuda mendatangi Dzun-Nun al-Mishri dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain?”        
            Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keeping emas?”

            Melihat cincin Dun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
            “Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, penjual sayuran, penjual daging dan ikan, serta kepada penjual lainnya. Ternyata, tak seorang pun yang berani membelinya seharga satu keeping emas. Mereka menawarnya hanya satu keeping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keeping perak. Ia kembali ke padepokan Dzun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keeping perak.”
Sambil tersenyum arif, Dun-Nun berkata, “Sekarang, pergilah kamu ke took emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik took atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
            Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Dun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia lalu melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu kali lipat lebih tinggi daripada yang ditawar oleh pedagang di pasar.”
            Dzun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi, Sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya ‘para pedagang sayur, ikan, dan daging di pasar’ yang menilai demikian. Namun, tidak bagi ‘pedagang emas’. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat pada kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai Sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Sering kali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”

(Dikutip dari buku Mind Revolution karya Ilhamuddin Nukman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

KAWANS ^^

Entri Populer