Konon,
seorang pemuda mendatangi Dzun-Nun al-Mishri dan bertanya, “Guru, saya tak
mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat
sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu,
bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain?”
Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan
cincin dari salah satu jarinya lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab
pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini
dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu
keeping emas?”
EMAS DI JIWA
04.55 |
Label:
KISAH INSPIRATIF
Melihat cincin Dun-Nun yang kotor,
pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa
dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa
tahu kamu berhasil.”
Pemuda
itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain,
penjual sayuran, penjual daging dan ikan, serta kepada penjual lainnya.
Ternyata, tak seorang pun yang berani membelinya seharga satu keeping emas.
Mereka menawarnya hanya satu keeping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani
menjualnya dengan harga satu keeping perak. Ia kembali ke padepokan Dzun-Nun
dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keeping
perak.”
Sambil
tersenyum arif, Dun-Nun berkata, “Sekarang, pergilah kamu ke took emas di
belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik took atau tukang emas di
sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas
yang dimaksud. Ia kembali kepada Dun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia lalu
melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya
dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu kali lipat lebih
tinggi daripada yang ditawar oleh pedagang di pasar.”
Dzun-Nun tersenyum simpul sambil
berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi, Sobat muda. Seseorang
tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya ‘para pedagang sayur, ikan, dan daging
di pasar’ yang menilai demikian. Namun, tidak bagi ‘pedagang emas’. Emas dan
permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita
mampu melihat pada kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan
itu butuh proses, wahai Sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan
tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Sering kali yang
disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata
emas.”
(Dikutip dari
buku Mind Revolution karya Ilhamuddin Nukman)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KAWANS ^^
Entri Populer
-
Oleh: Gemintang Halimatussa'diah Dawai asa melantunkan iramanya yang memukau Namun aku malah terdiam hening bersama kebisuan B...
-
Oleh: Gemintang Halimatussa'diah Puisi karyaku dimuat di mading kampus! Wah, senangnya! Tapi tunggu, kenapa nama penulis puisi yang t...
-
Ketika menulis artikel, kita pasti berharap tulisan tersebut dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh karena itu, kita harus membuat tulisan ...
0 komentar:
Posting Komentar