Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

LAZUARDI PADA AZZURA

Oleh: Gemintang Halimatussa'diah


 “Mana? Katanya kamu mau membuktian teorimu tentang memanusiakan orang miskin? Ko malah membawaku entah ke mana ini? Ga jelas ah!” elak Lazuardi.
“Aku akan membuktikannya nanti. Ayolah, kau ikut denganku, akan kutunjukkan sesuatu padamu!” lanjutku seraya berjalan mendahului Lazuardi. Ia bergeming tak beranjak dari posisinya. Sambil terus melangkah maju, aku pun menengok ke arahnya. Hmm..Ia masih mematung dengan wajah bersahaja namun congkaknya yang khas itu.
“Aku mau pulang saja!” Ia malah berjalan menuju arah yang berseberangan denganku.
“Laaaazzzz…” Teriakku geram ke arahnya.
*^*
Azzura
Aku dan Lazuardi memang dijodohkan oleh orang tua kami. Namun, sejak awal ia selalu berusaha melakukan banyak hal untuk membuatku membencinya. Mungkin ia melakukan hal itu karena tak suka dijodohkan denganku. Alasanku tetap berada di sampingnya adalah karena ia pria yang dipilihkan ibu untukku. Aku sangat menghormati apa pun perintah dan keputusan ibu. Ia adalah perempuan yang penuh pertimbangan. Menjodohkanku dengan Lazuardi, pasti sudah dipertimbangkannya dengan baik. Lagipula, tak ada pria lain yang bertahta di hatiku. Bagiku pria mana pun yang menjadi pendamping hidupku, sama saja, tak ada seseorang yang sungguh kuinginkan.
“Mana? Katanya kamu ingin membuktikan sesuatu padaku?” tagih Lazuardi.
“Mmmm…”
“Kamu pasti gak bisa membuktikan apa pun kan? Sudahlah, menyerah saja! Kita akhiri perjodohan gak penting ini!”
Lazuardi pergi meninggalkanku begitu saja. Aku jadi heran, kenapa ibuku berusaha untuk menjodohkan aku dengan laki-laki semacam itu. Apakah kali ini ibuku salah pilihan, ya?
“Ayo, Laaaz…!” Aku kembali memanggil pria bersahaja nan congkak itu.
*^*
Lazuardi
“Apa?! Ibu mau menjodohkan aku? Ibu tuh nggak ada bosen-bosennya ya berusaha untuk menjodohkan aku? Sudah kubilang, aku nggak mau dijodohkan, Bu!” Ucap Lazuardi dengan nada tinggi. Kali ini ia sungguh kesal, entah sudah berapa kali ibunya berusaha untuk menjodohkan dia dengan seorang perempuan. Padahal, hasilnya selalu saja sama: gagal!
“Eh, kamu tenang dulu dong, Nak. Dengarkan dulu permintaan ibu. Ibu tidak akan memaksamu untuk menikahinya. Kamu bertemu dulu dengan gadis itu, nanti…”
“Nanti kalau memang nggak suka ya nggak usah lanjut. Ya ya..aku hafal betul dengan wejangan ibu itu. Sudahlah, Bu, nggak usah repot-repot mencarikan jodoh untukku. Aku belum ingin menikah. Lagi pula, aku ini kan udah dewasa, kalau aku memang sudah ingin menikah, aku pasti akan memilih seorang gadis yang pantaslah di hati ibu.”
“Tapi kamu inget usia kamu juga dong. Teman-teman sebaya kamu banyak yang sudah menikah dan punya anak.”
Mendengar hal itu, hati Lazuardi terasa mendidih, ia  geram. Tiap kali berbicara tentang jodoh, ibunya pasti selalu menungkit-ungkit masalah itu. Melihat tak ada reaksi dari Lazuardi, ibunya itu pun melanjutkan pembicaraan.
“Baiklah, begini saja, Laz. Untuk perjodohan kali ini, ibu harap kamu mau bertemu dan bergaul dulu dengan gadis yang ibu pilihkan itu. Cobalah untuk mengenali dia dulu, jangan langsung menolak seperti yang sudah-sudah. Jika kamu tetap tidak suka, ibu tidak akan berusaha untuk menjodoh-jodohkan kamu lagi. Bagaimana?”
Wah, Lazuardi tertarik sekali, ibunya akhirnya memutuskan takkan menjodohkannya lagi? Hmm..sungguh hal yang dinanti-nantinya sejak lama. Dengan semangat, ia pun menjawab, “Baiklah, Bu. Kita sepakat ya. Ibu janji ya kalau aku menolak gadis itu, ibu nggak akan menjodoh-jodohkan aku lagi?”
“Dengan syarat, kamu harus coba bergaul dan mengenal gadis itu terlebih dulu.”
Sejenak Lazuardi berpikir, dahinya mengernyit, ah itu nanti urusan gampanglah, buat saja gadis itu nggak suka sama aku, pikir Lazuardi dalam hati. “Oke, deal!” serunya mantap.
*^*
“Ayo, ayo, mau ke mana sih?! Udahlah kita akhiri aja!” tegas Lazuardi. Rupanya ia sungguh-sungguh malas mengikuti gadis yang dijodohkan dengannya itu.
“Katanya kamu mau aku membuktikan sesuatu, ayo dong! Kita sudah dekat, kok! Itu tempat yang aku maksud. Aku  mau mengajak kamu ke situ!” seru Azzura sambil menunjuk ke sebuah tempat makan bernama ”Warung Soto Pak Kumis”.
“Ayo, kita ke sana!” ajak Azzura lagi.
Dengan setengah hati dan wajah ditekuk, Lazuardi pun mengikuti Azzura ke warung makan itu. Sesampainya di sana, mereka duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari pintu depan. Meskipun kecil dan sederhana, warung makan ini tampak bersih, rapi, dan terasa nyaman.
“Mau apa sih kita ke sini? Jangan-jangan, ini akal-akalan kamu untuk ngedate sama aku, ya?” Lazuardi menyipitkan mata.
“Yee…kamu tuh GR aja, ya!” Seusai berkata begitu, Azzura memanggil pelayan warung untuk memesan makanan, tentu saja menu soto kaki sapi favoritnya.
“Terus, mau ngapain dong kita ke sini?”
“Pak Kumis!” panggilAzzura kepada pemilik warung makan itu.
”Ada apa Neng?” jawab Pak Kumis yang kini sudah berdiri di samping mereka.
“Gimana Pak Kumis bisnisnya? Lancar?”
“Alhamdulillah Neng, berkat suntikan dana dari Neng dan ibunya Neng, bisnis warung ini makin lancar, makin banyak pelanggannya Neng..hehe..” Pak Kumis sumringah dengan senyum mengembang.
“Oh, gitu. Alhamdulillah ya, Pak. Ya udah, smoga sukses terus ya Pak usahanya.”
“Iya, makasih doanya Neng, ta tinggal dulu ya.”
“Iya, pak, mari-mari silahkan.”
“Oh, jadi kamu mau pamer kalau ini adalah salah satu warung usaha keluarga kamu?”
Lazuardi yang sejak tadi hanya memperhatikan, kini angkat bicara.
“Bukan gitu, Laz, aku cuma mau nunjukin sama kamu, kalau dengan kekayaan yang kita miliki, kita bisa berbagi dengan orang lain. Lebih dari itu, kita bisa membuat orang lain, terutama golongan kurang mampu, untuk dapat memiliki kekayaannya sendiri. Jadi, dengan memiliki kekayaan dan memanfaatkannya dengan baik, kita tidak lantas menjadi orang yang bersalah karena menjadi orang kaya kan?”
Sejenak Lazuardi terdiam. Setahun yang lalu, ia pernah meninggalkan orang tuanya dan segala harta kekayaan keluarganya untuk tinggal sebagai orang miskin yang tak beruang. Hal itu ia lakukan demi solidaritas kepada orang miskin yang tidak bisa menikmati kehidupan mewah atau kecukupan finansial seperti ia dan keluarganya. Namun, apa kontribusi yang dapat ia berikan terhadap orang-orang miskin itu? Toh, ia hanya menjadi bagian dari mereka. Ia sama sekali tidak melakukan apa pun untuk mengubah nasib para orang miskin itu. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Azzura dan ibunya, terbukti nyata dapat mengangkat derajat orang miskin untuk memiliki kecukupan finansialnya sendiri.
“Hei, kenapa bengong?”
Lazuardi tersentak dari lamunannya. Soto pesanan mereka pun sudah terhidang. Azzura menyantapnya dengan lahap. Lazuardi sampai terheran, kok ada ya perempuan kaya yang makannya lahap seperti itu? Ia sungguh berbeda. Tak seperti gadis kaya lain pada umumnya.
“Kenapa diem aja sih? Ayo makan!” tanya Azzura sambil kembali menyantap sotonya.
“Eh..iya..iya!” Begitu menyeruput sesendok kuah soto itu, Lazuardi langsung merasakan sensasi kelezatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pantas saja Azzura demikian lahap menyantapnya. Soto ini rasanya benar-benar enak dan khas! Lidah Lazuardi kini dimanjakan oleh sensasi kenikmatan rasa pedas, manis, asam, dan gurih yang demikian lezat!
Hmm..Hari ini terasa demikian berbeda bagi Lazuardi. Tak pernah ia merasakan pengalaman semacam ini sebelumnya. Langit biru senja itu, seolah turut melarutkan rasa yang begitu halus terbetik dalam hati Lazuardi. Rasa apakah itu? Ah, ia sendiri pun tak mampu menerjemahkannya.
*^*
Lazuardi
 Aku mulai tersadar bahwa pemikiranku sebelumnya memang salah. Azzuralah yang telah membuka mataku tentang hal itu. Aku tertarik pada idenya untuk bisa membuat orang miskin memiliki kekayaannya sendiri. Pada pertemuanku selanjutnya, aku mengajak Azzura ke tempat di mana aku pernah tinggal, saat aku memutuskan pergi dari rumah mewahku setahun yang lalu. Tempat itu adalah Cilincing yang terletak di daerah Tanjung Priok. Sebuah daerah nelayan yang terlihat kumuh. Di situlah kami berbincang cukup banyak. Aku menyampaikan usul untuk membangun sekolah gratis karena kebanyakan anak di daerah Cilincing itu sudah putus sekolah. Bukan hanya karena tak ada uang, tapi itu lebih karena mereka tak punya motivasi. Sejak kecil, mereka telah diajak orang tuanya untuk mencari ikan di laut. Orang tuanya pun seolah hendak mencetak anak-anak mereka untuk mengikuti jejaknya: menjadi nelayan.
Jadi, misi kami berdua bukan hanya membangun sekolah dan rumah belajar sementara, tetapi juga membangun motivasi anak-anak untuk mau bersekolah dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Kegiatan awal yang kami lakukan adalah menbangun rumah belajar sementara, selama pembangunan sekolah. Kami sengaja membuat taman bermain dan mengecat tembok rumah belajar itu dengan cat warna-warni, agar anak-anak tertarik untuk datang. Selain itu, Azzura mengusulkan untuk memberikan hadiah berupa mainan bagi anak-anak yang rajin datang ke rumah belajar yang kami bangun itu.
Waktu pun terus berlalu, perkenalanku dengan Azzura hanyalah berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang memang sama-sama kami minati. Tak terasa, sudah tiga bulan kami berada dalam kebersamaan itu.
Suatu malam, ibu pun menanyakan perihal hubunganku dengan Azzura. Aku jawab seadanya. Lalu ibu meminta pendapatku untuk mengadakan pesta pertunangan. Entah aku harus jawab apa. Aku masih bingung apakah kali ini aku akan menolaknya? Ini kesempatan besar agar ibu tak lagi berupaya untuk menjodohkanku dengan perepuan-perempuan lain.
Acara perkenalan keluarga pun dilaksanakan. Kami—ayah, ibu, dan aku—bertandang ke rumah keluarga Azzura. Seusai makan siang, ibu memulai pembicaraan yang serius.
“Jadi bagaimana ini? Kalian kan sudah saling mengenal selama tiga bulan, apakah sudah ada keputusan untuk melanjutkan hubungan kalian dengan melaksanakan pertunangan atau tidak?”
Azzura hanya menunduk, tampaknya ia malu mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. Sebelum ia mengutarakan pendapatnya, aku angkat bicara.
“Seperti yang pernah saya sampaikan kepada ibu sebelumnya, saya tidak berminat untuk dijodoh-jodohkan lagi dengan perempuan mana pun, Bu.”
Semua orang dalam ruangan itu tampak tegang. Termasuk Azzura. Ia mengangkat kepalanya dan langsung mengarahkan wajahnya ke arahku. Kini semua perhatian tertuju padaku.
“Aku menolak untuk dijodoh-jodohkan lagi, dan aku menolak adanya pertunangan ini.”
Hening. Tak ada suara.
“Aku menolak pertunangan itu karena aku ingin langsung melaksanakan pernikahan saja, Bu.”
Keadaan masih hening, selang beberapa detik barulah terdengar suara ramai kedua keluarga merespon ucapanku barusan. “Oalah…ta kira mau ngomong apa…berarti kamu menerima perjodohan ini kan?” tandas ibu diringi riuh tawa kedua orang tua kami. Azzura yang tadinya juga tampak tegang, mulai mengembangkan senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat selama ini. Dari  senyumannya itu, aku tahu bahwa ia pun menerima perjodohan ini.
Langit biru yang diiringi awan berarak tenang senja itu, seolah hendak memayungi kebahagiaanku. Selama perjalanan pulang dari rumah Azzura, tak henti-hentinya aku senyum-senyum sendiri. Rupanya inilah akhir dari perjalanan cintaku yang sebelumnya tak pernah terurai merdu. Pada Azzura aku menahtahkan hati.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

KAWANS ^^

Entri Populer