Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
“Hei, anak SN! Cepet turn on the light!” Dengan gaya sok kuasa, Ali memerintah kepada seorang siswi. Yang diperintah, awalnya hanya diam saja sambil menengok ke arah Ali.
“Hei, anak SN! Cepet turn on the light!” Dengan gaya sok kuasa, Ali memerintah kepada seorang siswi. Yang diperintah, awalnya hanya diam saja sambil menengok ke arah Ali.
“Ehh..kalau gak mau, berarti loe gak ngerti bahasa
Inggris! Hayoooo…!” Ali kembali memerintah dengan sikap sok kuasanya. Siswi
yang disebut “anak SN” itu lantas bangkit dan menyalakan lampu kelas sesuai
perintah.
Saat sedang asyik menulis catatan, hapusanku terjatuh,
menggelinding, dan berhenti di kaki kursi milik Raisa, siswi yang tempo hari
disebut sebagai anak SN oleh Ali. Ia mengambilkan hapusan itu dan
menyerahkannya padaku.
“Terima kasih.” ucapku sambil tersenyum. Ia hanya
balas tersenyum lalu kembali ke kursinya. Hmm..dia memang pendiam sekali. Aku
pun jadi tertarik untuk lebih dekat dengannya. Jujur saja, sejak dulu aku sudah menyukai psikologi
dan bercita-cita untuk kuliah di jurusan itu. Itulah sebabnya, aku ingin tahu
lebih banyak tentang Raisa.
Istirahat jam pertama siang itu, aku mengajak Raisa
untuk ke kantin bersama. Ia hanya menggeleng lalu berkata, “Saya mau ke
musolah.”
Aku mengernyitkan dahi. “Mau ngapain?” tanyaku heran.
“Solat Dhuha.” jawabnya singkat sambil melanjutkan
langkahnya. Aku pun mengikutinya ke musolah. Kebetulan di sana sudah tersedia
mukena, jadi aku bisa ikut solat Duha bersama Raisa.
Raisa memang tidak banyak bicara, namun entah mengapa
aku merasa nyaman bersamanya. Saat tahu ia ikut rohis sekolah, aku pun
memutuskan untuk bergabung di organisasi itu. Alhamdulillah, sejak ikut rohis,
aku jadi lebih banyak tahu tentang agama. Lebih dari itu, aku jadi memiliki
banyak teman. Di sini, tak ada diskriminasi, pantas saja Raisa sangat betah
berada di sini. Aku pun merasakan hal yang sama. Selain tambah ilmu dan teman,
kami juga bisa tambah pengalaman dengan mengikuti berbagai kegiatan yang
positif.
Sejak saat itulah, kami bersahabat baik. Dalam
diamnya, senyuman manisnya, dalam uluran tangan yang selalu siap terbuka, dalam
kebersamaan belajar, kami..entah mengapa..kemudian menjadi sahabat baik yang
saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Sebuah persahabatan yang
terukir sangat indah, yang insyaAllah memperoleh penilaian baik pula di
mata-Nya.
Sejak lulus kuliah dan kini menikah, aku sudah jarang
bertemu dengan Raisa. Tapi syukurlah, hingga kini aku masih menyimpan nomor
ponselnya. Sempat terasa sepi di dalam hati tiap kali aku merindukan kehangatan
senyum dan kebaikan hatinya. Terlebih lagi, hingga usia kami yang menginjak 29
tahun kini, Raisa masih juga belum memiliki pendamping hidup.
Hmm..lantas bagaimana ia menjalani hari-harinya kini?
Apakah ia merasa kesepian? Galau dan resah? Ah, aku yakin tidak, karena dia
adalah Raisa, sahabatku yang demikian mampu mengelola hati dan perasaannya,
sebagai anak yang dicap SN atau berkebutuhan khusus. Dari kejauhan, aku hanya
dapat mendoakan semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuknya, untuk
sahabat terbaikku Raisa, yang telah membawaku menuju jalan kebaikan, jalan yang
insyaAllah selalu diridhoi-Nya. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar