Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
“Kata Mbak Mirna, kamu tadi ketemu sama ayahmu lagi,
ya?” tanya bunda dengan alis mengerut.
Merasa tertangkap basah, Naila pun terpaksa mengaku.
“Iya, Bun. Emangnya kenapa? Kenapa sih aku nggak boleh
ketemu sama ayahku sendiri? Aku juga kan ingin merasakan kehadiran sosok ayah. Bunda
mungkin bisa melarang aku berhenti menemui ayah. Tapi hatiku nggak bisa melakukannya!”
Entah dari mana keberanian dalam diri Naila muncul. Baru kali ini ia bicara
dengan nada tinggi begitu kepada bundanya.
“Bunda kok bisa menyangka begitu, sih? Ayah itu baik,
Bun, dia nggak mungkin melakukan itu! Bunda kenapa sih benci banget sama ayah? Apa karena ayah
miskin dan cuma seorang tukang parkir?!” cecar Naila.
Bunda terbelalak, tak menyangka Naila akan mengatakan
hal itu. Tanpa sadar, tangannya sudah terangkat ke atas dan terayun, mendarat
di pipi putri yang amat dicintainya itu.
Naila amat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
Dadanya terasa sesak sekali. Sakit, bukan hanya di pipinya yang tampak memerah.
Lebih dari itu ada rasa pedih dan pilu yang menyesakkan ruang dadanya.
Sebab kepedihan yang dialaminya itu, Naila pun
memtuskan untukpergi dari rumah mewah mereka. Ia lebih memilih untuk tinggal
bersama ayahnya, meski hanya di sebuah rumah kontrakan sempit.
Usai berkemas, Naila menenteng tas berisi pakaian.
“Mulai sekarang, bunda nggak akan bisa melarangku
untuk bertemu ayah lagi!” Naila berlalu dari hadapan bundanya. Bunda hanya
mampu menangis tertunduk. Penuh rasa sesal.
Ketika sampai di rumah ayahnya yang hanya sepetak itu,
Naila menangis mengadukan seluruh kepedihan hatinya.
“Pokoknya aku akan berhenti menyayangi bunda. Aku
benci sama bunda!”
“Naila, kamu nggak boleh bicara begitu.” Ayah masih
berusaha membela bunda. Naila merasa kasihan sekali pada ayahnya yang sudah
dihina itu, tapi masih saja tetap membela bundanya.
“Naila, kamu sekarang sudah besar. Ayah rasa, sudah
saatnya kamu tahu yang sebenarnya. Alasan kenapa bunda kamu sangat ingin melindungimu
dari ayah.” Lalu, ayah menceritakan panjang lebar tentang masa lalunya dulu
ketika ia baru menikah dengan bundanya. Awalnya, mereka menikah memang karena
saling cinta, lalu ayah mulai mabuk-mabukan sejak di-PHK pada tahun 1998 lalu.
Bunda masih tetap bersabar mendampingi ayah meski ia menjadi pengangguran dan sering
mabuk-mabukan seperti itu.
“Kamu tahu dari mana bekas luka ini?” tanya ayah
sambil menunjuk dagu Naila, “itu berbekas karena ayah memukulmu dengan botol minuman
ketika ayah mabuk. Sejak itulah, ibumu memutuskan untuk bercerai dari ayah. Ia
benci sekali pada ayah karena ayah telah menyakitimu, Nak. Itu karena dia
sangat menyayangimu.” jelas ayah.
Naila terkesiap. Ia hanya mampu mengernyitkan alis
sambil menatap lurus ke wajah ayahnya.
Benarkah semua itu? Ternyata bunda telah demikian terluka karena ayah di
masa lalu.
“Ya Allah.” Naila menunduk. Air matanya menetes.
[*]
“Bunda, ayo buka mulutnya. Aa…” Naila menyuapkan
sesendok nasi ke mulut bunda. Ketika Naila pulang dari rumah ayahnya tiga bulan
lalu, ia terkejut sekali melihat bunda sudah terkapar di depan kamar mandi.
Ternyata sang bunda sempat terjatuh dan mengakibatkan ia tak bisa bicara dan
berdiri lagi.
“Bunda, maafkan Naila krena sudah berbuat kasar sama
bunda. Mulai sekarang, Naila larang bunda untuk berhenti menyayangi Naila.
Naila pun menarik kata-kata Naila dulu. Naila takkan penah berhenti mencintai bunda.
Naila sayaaang sekali sama bunda. Bunda cepat sembuh, ya.” Air mata kembali mengalir
di pipi Naila.
2 komentar:
Bunda masih tetap bersabar mendampingi ayah meski ia menjadi pengangguran dan sering mabuk-mabukan seperti itu.
'ia' kayaknya salah tempat mbak gem, harusnya ayah. masa ayah menyebut dirinya sendiri dg kata ganti 'ia' ?
Itu kan di bagian narasinya El, bukan dialog si ayah. Jadi bukan ayah yang menyebut "ia", melainkan narateenya..heu2..:D
Makasih yeu udah mampir. Oya, aku wkt itu coba komen di blogmu, kok ndak bisa ya? Muncul Chaptha terus, dah dicoba berkali2, muncul lagi muncullagi chaptchanya..heu2..aneh euy
Posting Komentar