Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SENJANYA CINTA


Oleh: D’Classical

Teng...teng...teng... bunyi jam besar di restoran yang kudatangi, tepat pukul 3 sore. Kuarahkan pandangan ke semua sudut restoran yang masih sepi..Ya..keadaan seperti inilah yang kusukai, sepi dan tenang, tidak ada kebisingan suara-suara orang yang tertawa, berteriak dan menangis.
"Mau pesan apa mbak?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku, ternyata sang pelayan restoran.
"Mmm...saya pesan capuccino," jawabku sambil mengembalikan buku menu.
"Baik Mbak, tunggu sebentar," ucapnya dan meninggalkan tempatku.
Tidak lama kemudian pesananku datang dan aku pun langsung menikmatinya "Usahaku Bangkit dari Keterpurukan" adalah salah satu judul artikel, yang menarik buatku di sebuah majalah yang kubaca sekarang, isi dari cerita ini, mengingatkan perjuanganku tujuh tahun yang lalu, sangat berbekas di hidupku..


Sungguh aku tak bisa,
sangat sulit ku tak bisa
membenci dirimu
sesungguhnya aku tak mampu

Tiba-tiba ponselku berbunyi...

Ellisa
calling...

"Iya..dek" sapaku.
"Kakak ada di mana, jadi ke pemakaman gak?"
"Kakak lagi ada di restoran, nanti kakak jemput kamu." Setelah mengakhiri percakapan, aku langsung beranjak dari restoran, dan menuju ke mobilku untuk menjemput Ellisa.
***
"Kak Eka..ke mana aja sih? Kok lama banget.." tanya Lisa, begitu aku tiba di  rumahnya, "Maaf, Sa..tadi agak macet di jalan. Ya udah yuk, kita berangkat sekarang nanti kemalaman."
Setelah sampai di TPU, aku langsung mencari makam Mas Tio suamiku, yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
"Kak, itu makam mas Tio," Mataku melirik ke mana arah telunjuk Ellisa.
"Oh...ya udah, kita ke sana."
Tepat di depan pusara mas Tio, aku dan Ellisa membacakan Al-Fatihah, agar ia tenang di alam sana.
"Mas Tio, aku kangen Mas, aku ingin sekali ketemu Mas," lirihku menahan tangis, sambil menaburkan bunga di pusaranya.
"Kak, jangan nangis, nanti Mas Tio gak tenang di sana," Ellisa sambil merangkulku.
"Iya, Sa.." jawabku pelan dalam sambil menghapus deraian air mata di pipiku.
"Udah yuk kak, kita pulang, udah sore,"
"Mas aku pulang dulu sama Ellisa, I love u mas," ucapku lalu mencium nisan Mas Tio, dan berlalu meninggalkan pusara itu.
Saat dalam perjalanan pulang ke rumah, Ellisa memintaku mengantarnya ke sebuah mini market untuk membeli majalah kesukaannya,
"Kak..ke mini market sebentar ya, aku mau beli majalah," pintanya.
"Iya.."
Setelah sampai mini market, Elisa langsung turun dan masuk ke dalamnya, tidak sampai 10 menit, dia sudah kembali ke mobil dengan membawa majalah kesukaannya itu.
"Ini loh kak, majalah favoritku," ucapnya sambil menunjukan cover majalah dengan seorang artis muda, berlatar warna biru langit.
"Coba kakak lihat isinya," Kuraih majalah itu dan mulai membuka halaman-halamannya. Halaman demi halaman kuperhatikan, mulai dari artikel kecantikan, tempat perkuliahan yang modern.. Lalu.. kubalik lagi halaman itu, hingga pada akhirnya mata dan ingatanku tertuju pada sosok pria yang sedang tersenyum dalam gambar di majalah itu. Jantungku berdegup kencang, darahku terasa mengalir sangat deras dalam tubuhku..
"Pria ini...dia..?" Semua pertanyaan itulah yang kini ada dalam pikiranku…
***
“Apa kamu bilang? Kamu bilang kamu tidak mengenalku? Wah, kamu benar-benar cewek yang mengesalkan ya! Hei, teman-teman, cepat bilang ke cewek keras kepala ini, siapa aku sebenarnya.” perintah Morgan dengan gaya sok kuasanya.
“Eh,cewek kuper, Morgan ini adalah anak dari pejabat terkenal di negeri ini, dia juga sedang merintis karier menjadi model majalah, dia juga membintangi beberapa iklan di televisi, wajahnya sering muncul di majalah atau layar kaca. Ngerti nggak?” Teman Morgan demikian bangga memperkenalkan dirinya.
“Oh, jadi nama kamu Morgan? Dan kamu adalah orang terkenal? Maaf saja ya, aku tidak suka nonton TV apalagi iklan, jadi maklum saja kalau aku tidak mengenalmu.”
Mendengar hal itu teman-teman Morgan berusaha menahan tawa. Sementara Morgan terlihat kesal dua kali lipat dibanding sebelumnya.
“Permisi ya, saya mau pulang dulu.” ucapku cuek, sambil berlalu meninggalkan mereka semua.
“What?!!” Morgan naik pitam. Alisnya berkerut dengan ekpresi wajah merah padam.
“Ha ha…aku nggak nyangka, Morgan, cowok paling ganteng se-Indonesia ini malah dicuekin abis sama cewek model begitu. Ha ha ha!” Tawa salah satu teman Morgan yang kemudian disusul dengan tawa teman-teman yang lainnya.
”Tapi boleh juga tuh cewek ya,” sahut Andi temannya yang lain.
“Boleh apanya?!” Kekesalan Morgan bertambah berkali lipat.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Morgan. Aku tak menyangka ternyata setelah kejadian itu Morgan merasa kesal sekaligus memiliki perhatian khusus padaku. Ia mengesalkan,tapi entah mengapa, dalam situasi sulit seringkali ia muncul untuk menolongku.
Contohnya pada kejadian hari itu. Aku menangis sedih sekali di rental kampus. Morgan ke situ utnuk membeli minuman dingin, tapi ketika melihatku menangis, ia bertanya kepada pemilik rental, “Kenapa tuh dia?” tanyanya sambil menunjuk ke arahku.
“Itu Mas, tugas kuliahnya belum sempat disimpen, eh listrik keburu mati,sekarang hilang semua itu tugas kuliah yang sudah diketik.” Mendengar hal itu Morgan langsung masuk rental menuju tempat aku duduk dan menangis.
“Minggir.” perintahnya. Lagi-lagi dengan gaya sok kuasa.
”Mau apa kamu?”
“Kamu mau tugas kuliah kamu selamat nggak? Ayo, minggir!”
Dia demikian memaksa, sungguh mengesalkan, tapi tak apalah, meski rasanya mustahil ia  dapat mengembalikan tugas makalahku, toh aku tak punya pilihan lain. Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu Morgan duduk di situ sambil mengutak-atik komputer yang ada di hadapannya.
Cukup lama, tak ada hasil. Aku  sudah putus asa, akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja dari situ.
“Berapa semuanya, Bang?” tanyaku pada pemilik rental.
“Ketemu!” Sorak Morgan kegirangan. Mendengar sorakannya,. Aku langsung bergegas menghampirinya, dan melihat ke layar monitor.
“Wah,benar! Ini tugas makalah yang aku buat tadi!” Aku senang sekali.
“Terima kasih ya, Morgan.” Kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku. Ya, aku sangat spontan dan tulus mengucapkan hal itu. Kali ini Morgan telah benar-benar membantuku. Kalau saja ia tidak menolong, pastilah aku tidak dapat mengumpulkan tugas akhir mata kuliah yang sangat penting. Tanpa mengumpulkan tugas itu, bisa jadi aku akan mendapatkan nilai yang sangat rendah.
            Sejak kejadian hari itu, aku dan Morgan jadi lebih akrab. Meski tingkahnya amat sombong dan menyebalkan, ternyata ia juga bisa bersikap manis dan menyenangkan. Sampai sutau ketika….
“Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Morgan memulai pembicaraan senja itu, ketika kami pulang kuliah bersama.
“Mau sampaikan apa?”
“Ah, sulit sekali rasanya. Aku tidak menyangka kalau akhirnya aku akan mengatakan hal ini padamu. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang terjadi, sampai kemudian aku menyadari bahwa aku telah begitu terbiasa bersama dirimu. Sepertinya, aku tidak bisa menahannya lagi, karena aku bisa gila kalau terus menahannya.”
“Kamu mau bilang apa sih? Kok muter-muter gitu, aku nggak ngerti deh.” Aku sungguh bingung apa maksud kata-kata Morgan barusan.
“Aku…aku..aku suka sama kamu.” Mendengar ucapannya barusan, jantungku berdegup kencang, aku kaget luar biasa, aku sungguh tidak menyangka, ternyata perhatiannya padaku selama ini…
“Apakah kamu juga suka sama aku?” Ia berusaha melihat perubahan pada raut wajahku, mencoba mencari jawab dengan memandang masuk ke dalam mataku. Sepertinya ia sudah tahu apa jawabanku.
“Maaf Morgan. kamu tentu sudah tahu jawabanku kan?”
“Iya, kamu tidak suka ya, sama aku? Tapi kenapa?”
“Sebenarnya aku yang merasa heran, bagaimana bisa kamu suka sama aku? Kamu itu orang terkenal dan kaya raya, bagaimana bisa kamu suka pada perempuan biasa seperti aku?”
“Awalnya aku juga tidak mengerti, tapi mungkin itu karena hampir semua perempuan di kampus ini suka padaku, mereka juga sering berusaha untuk mengejar-ngejarku. Tapi kamu, kamu malah cuek, seolah tidak peduli pada ketampanan, kepopuleran, dan kekayaan keluargaku. Hal itu membuat dirimu begitu menyita perhatianku. Berawal dari perhatian, entah mengapa lama kelamaan perasaan yang begitu halus meuncul di hatiku.” Sebenarnya aku sedikit tersanjung mendengar pernyataan Morgan barusan. Tapi…
“Tapi….aku tidak bisa menyukaimu karena…aku…aku sudah punya suami, Morgan.” Raut wajah Morgan langsung berubah ketika mendengar ucapanku barusan. Ia merasa amat terkejut dan sulit untuk percaya.
”Apa?! kamu…kamu sudah…menikah?”
“Iya, Morgan, tidak banyak yang tahu tentang hal itu karena memang kami menikah muda, dan aku masih duduk di bangku kuliah, karena itulah tidak banyak orang yang tahu tentang pernikahanku. Maafkan aku ya, Morgan.” Aku sungguh merasa tidak enak padanya. Meski kupikir ia pastilah tak sungguh-sungguh mencintaiku, aku tetap merasa kasihan padanya.
Alis Morgan masih tampak berkerut. Syok, tidak percaya, ia sepertinya begitu terguncang dengan perkataanku barusan. Aku khawatir ia tidak mampu menerima kenyataan ini. Kemudian, ia berusaha memaklumi keadaanku dan ia berjanji padaku bahwa ia tidak akan menggangguku lagi. Selebihnya, kami hanya membina hubungan pertemanan saja. Ya begitulah akhirnya kisahku dengan Morgan, sampai akhirnya ia mengetahui sebuah fakta. Fakta yang terucap dari mulut sahabatku, Lusi.
“Apa? Jadi  sebenarnya suami Eka sudah meninggal?”
“Iya Morgan. suaminya, Mas Tio, meninggal dalam sebuah kecelakaan pada malam pesta pernikahan mereka. Ketika itu, mereka berangkat ke Bali untuk berbulan madu. Namun  malangnya, Mas Tio meninggal dalam kecelakaan itu, sedangkan Eka hanya mengalami luka ringan. Itu  karena posisi Mas Tio adalah bagian yang tepat tertabrak truk.” Mendengar penjelasan Lusi, Morgan merasakan sesuatu yang aneh, antara kasihan, kaget, dan merasa punya harapan akan cintanya padaku.
“Tapi, kenapa ia mengaku bahwa ia sudah menikah? Bukankah sekarang ia sudah menjadi janda?”
“Itulah masalahnya Morgan. Eka tahu bahwa suaminya sudah meninggal, tapi dia bersikap seolah-olah suaminya masih hidup. Ia menyiapkan sarapan tiap pagi untuk dua orang, dia juga selalu membicarakan tentang keadaan suaminya, seolah-olah ia masih hidup.”
Aneh sekali, Morgan merasa apa yang aku lakukan itu sungguh aneh, tapi Morgan rupanya telah terlalu mencintaiku. Setelah mendengar kenyataan itu, Morgan pun merasa masih ada peluang untuk mendekatiku, untuk mewujudkan cinta yang telah begitu dalam ia rasakan padaku. Ia pun berpikir untuk melakukan sesuatu agar aku dapat membuka mataku tentang kenyataan bahwa Mas Tio sebenarnya sudah meninggal.
***
            Orang yang sudah mati takkan mungkin bisa hidup kembali. Haruskah kubuka hati bersama hari ataukah terus mengingat dan meratapi diri sendiri. Seandainya saja dia tahu bahwa mas Tio sangat berarti untukku. Seandainya dia tahu apa yang ia rasakan padaku sama dengan apa yang aku rasakan pada Mas Tio.
            Ah…. dunia memang aneh, kadang kita mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain, dan giliran kita yang dicintai kita mendapatkan cinta dari orang yang sama sekali tidak kita cintai.
            “Mbk, awas di depan lampu merah tuh!! Ih ngelamun aja dech..!” omel Elisa mengingatkanku untuk berhenti tepat setelah lampu merah menyala. Mungkin ia takut aku jadi linglung setelah berkunjung ke makam Mas Tio.
            “Hemm….” Hanya itu jawabku.
            Tenang El, Mbak gak linglung kok. Sedikit demi sedikit Mbak sudah mulai menerima kenyataan bahwa yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Kataku pada diri sendiri.
            Kami berdua sibuk dengan dunia kami masing-masing. Elisa membolak balik majalah sambil sedikit-sedikit berkomentar,
            “Ihh…. cakep banget deh Mbak, coba lihat, cowok ini mirip Taemin, mauuu…..”
            Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku saja “dasar remaja” bisikku lirih
            “Kalau yang ini mirip Kim Bum deh Mbak, coba deh lihat!”
            Aku mendesah dan menunjukkan sikap tidak tertarik. Ya, memang aku tidak tertarik. Menurutku mereka biasa-biasa saja, paling setahun dua tahun juga dilupakan karena muncul lagi yang lebih ganteng, ehmm apakah aku kejam? Entahlah.
            “Sa, kamu pulang dulu ya?” tanyaku kemudian setelah lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju dengan kecepatan rata-rata.
            “Mbak masih ada urusan!” jelasku singkat namun mengandung penekanan hingga cewek yang aku ajak ngomong jadi manyun namun tak bisa protes.
***
            Kampus terlihat sepi, ya iyalah wong masih pekan sunyi, gimana mau rame. Hampir semua mahasiswa pulang kampung saat pekan sunyi seperti ini.
            “Loh Bu, ngampus?” Tanya pak Satpam yang tetap setia menjaga kampus
            “Iya Pak, mau masukin nilai anak-anak!” jawabku singkat padahal hanya alasan aja.
            “Oh kirain janjian sama seseorang, hehe” lanjut Pak Satpam tersebut sambil tertawa mencurigakan.
            Hehh?? aku bertanya pada diri sendiri dan tak mengerti.
            Bergegas aku menuju gedung C dan ruangan dosen. Aku sendiri juga tak tahu mengapa ke sini. Aku memang lebih memilih untuk berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan ketika aku sedang berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan.
            “Hai…..” sapaan itu mengagetkan aku.
            Dheg…….. diaa?? tanyaku dalam hati.
            Tidak mungkin.
            Aku berdiri kaku saat melihat dia terpaku di depanku menatapku sangat dalam. Masih seperti dulu.
            Tidak mungkin.
            Siapa sih aku? selalu saja itu yang aku tanyakan pada diri sendiri ketika berhadapan dengan orang di depanku ini. Sejak dulu tidak berubah.
            “Mas Tioo, tolong aku,” bibirku lirih mengucapkan kalimat itu.
            “Kamu masih seperti dulu,” kata laki-laki itu. Tangannya mencoba meraih pundakku namun buru-buru aku tepis secepat kilat.
            “A…aku tak menyangka…ehm…”
            “Apa? Kenapa? Kaget aku bisa seperti ini setelah peristiwa itu?” katanya ketus dan kini ia berbalik badan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
            Ingatan itu muncul kembali!! Ingatan beberapa waktu yang lalu!
***
            “Orang yang sudah mati tak akan mungkin bisa kembali lagi kan? Kenapa tak kau coba buka hatimu? Kamu gila tau gak!!” teriaknya dengan suara keras saat aku dan Morgan terlibat dalam sebuah perdebatan.
            “Siapa elo sih? Kenapa gue bisa suka sama cewek kayak lo!!” teriaknya kali ini dengan ber “elo” “gue” pertanda ia sudah sangat marah.
            Kenapa dia tidak mengerti kalau aku tak mungkin bisa mencintai atau menikah dengan orang lain? Bagiku cukup satu cinta satu suami dan satu kehidupan. Tak ada lagi yang lain! Aku hanya memendam kata-kata itu tanpa sempat aku keluarkan.
            “Tau gak sih lo tu cewek gila!!”
            Saat itu aku tak bisa lagi membendung air mataku. Ya aku memang cewek gila yang selalu menganggap Mas Tioku masih hidup. Yang suka berkata “Ntar ya aku minta izin mas Tio dulu” saat temanku ingin mengajakku pergi ke tempat yang jauh. Aku selalu membuatnya sarapan tiap pagi. Aku selalu membawa dua bekal untuk ku dan untuk Mas Tio. Aku selalu memperingati hari ulang tahun kami seolah-olah dia ada. Aku selalu mengajaknya berdiskusi saat ada mata kuliah yang tak aku mengerti. Aku juga selalu berkata “aku kuliah dulu ya tunggu di tempat biasa” saat aku masuk ke ruang kelas. Aku memang gila!! aku GILA!! Terus kenapa?? Apa urusannya dengan Morgan. Dia tak berhak mencaci maki aku!
            Dia memegang pipiku dengan kedua tangannya yang kokoh hingga aku tak bisa melawan.
            “Ingat, TYO suamimu itu sudah meninggal!! Apa kau amnesia??”
            Air mataku terus mengalir deras sementara ia bagai penguasa yang tak punya perasaan yang terus menerus mencercaku dengan celaan dan hujatannya.
            “SUAMIMU MATI KECELAKAAN, TERIMA ITU!!”
            Plak!
            Entah dari mana muncul kekuatan itu. Yang jelas alam bawah sadarku menyuruhku untuk melakukan itu. Alam bawah sadar yang menuntunku untuk menghajar siapa pun orang yang berani mencaci Mas Tio.
            Sejak peristiwa itu dia sangat membenciku. Mencintaiku adalah sebuah kesalahan terbesarnya. Katanya aku juga cewek tidak tahu diri.
            Iya, aku sadar. Tuan muda dari keluarga kaya raya yang sedari kecil tak pernah kecewa, mana mungkin bisa menerima kenyataan bahwa cintanya tak berbalas. Hal itu pasti akan sangat melukai perasaannya, terlebih sudah biasa dikejar-kejar wanita, dan bukan sebaliknya.
            Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi. Aku fokus untuk kuliah lagi agar bisa menjadi dosen, meneruskan cita-cita Mas Tio.
            “Nanti kita berangkat bareng cantik kalau jadi dosen, jangan lupa selalu bawain aku bekal, maklum beli di luar mahal, hehe” kata Mas Tio saat itu.
            “Dasar anak akuntansi apa-apa dihitung, iyaaa Massss, siap Boz!” balasku
            Ah… mengingatnya hanya bikin hatiku sesak dan semakin gila.
***
            “Aku akui, memang cuma kamu cewek gila yang bisa membuat aku tak bisa lupa! Ya, kamu si cewek gila itu! Yang terus hidup dalam bayangan suaminya!”
            “Apa maumu?” tanyaku ketus. “Kalau nggak ada kepentingan lain silahkan pergi!” kataku lagi. Mas Tio seandainya ada kamu di sini, pasti sudah Mas hajar cowok di hadapanku ini Mas. Mas, kenapa kamu jahat Mas? Kenapa kamu tega meninggalkan aku sendiri di dunia ini.
            Laki-laki itu kemudian berbalik lagi ke arahku. Matanya tiba-tiba teduh. Pandangannya sayu seperti teringat sesuatu. Aku semakin tak mengerti. Hembusan napas kami berdua terdengar teratur karena di dalam gedung C ini hanya ada aku dan dia saja.
            “Maafkan aku”
            “Aku tak mengerti” jawabku
            “Ya, memang kau tak mengerti!”
            “Beberapa tahun yang lalu sebelum pindah kuliah di sini aku pernah mengalami sebuah kecelakaan hebat hingga menyebabkan aku amnesia untuk sementara!”
            “Aku turut prihatin, lalu apa urusannya denganku?”
            “ Dalam kecelakaan itu ada korban meninggal.. dan baru kuketahui lima tahun yang lalu, bahwa dia adalah suamimu!”
            “Aku ke sini untuk mengatakan hal itu, maafkan aku!”
            Dheg….. duniaku gelap.




Ditulis Oleh:

D’CLASSICAL
R’sy Pratiwi Jackson
Miyomiyosi
Gemintang Halimatussa’diah

Penyunting:
Gemintang Halimatussa’diah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

KAWANS ^^

Entri Populer