“Liana, kamu tahu kan sejak lama aku sudah
memendam rasa cinta padamu? Hingga namamu terukir indah bagai semboyan cinta di hatiku.”
Liana hanya mampu
tertunduk pilu mendengarnya.
“Kautahu apa yang
membuatku jatuh hati padamu? Sorot matamu. Sorot mata sekerling bintang kejora
yang selalu tampak cerah setiap kali aku memandang wajahmu. Sorot mata yang tak
pernah berubah, sejak kita masih sama-sama kanak-kanak dulu, hingga kini
menginjak tiga dasawarsa usia kita.” Prasetya masih mencoba menatap sorot mata
itu, yang sejak tadi tertunduk dalam buliran bening air mata.
Liana mengangkat
kepalanya. Menggeleng lemah.
“Maafkan aku, Mas
Pras. Tentu Mas bisa melihat cincin yang melingkar di jari manisku ini kan? Aku
mohon, jangan mengatakan hal semacam itu lagi.” Liana mengiba lirih. Tak kuasa
ia menahan kesedihan hatinya mendengar ucapan laki-laki yang begitu lekat di
kehidupannya itu.
Sejak kecil, mereka
memang sudah begitu akrab. Tak terpisahkan, bagaikan pinang dibelah dua. Namun,
menginjak masa SMP, mereka terpaksa harus berpisah ketika orang tua Liana
dipindahtugaskan ke daerah Bandung.
Sejak saat itu, mereka
memang tak lagi memiliki kesempatan untuk bersua. Liana yang kemudian
memutuskan untuk berhijab, memang lebih menjaga pergaulannya dengan laki-laki
yang bukan mahromnya. Itulah yang menyebabkan komunikasi mereka seolah
terputus.
Hal itu pula yang
menyebabkan sesal tak terperi bagi Prasetya. Bagaimanalah, Liana baru membaca isi
hati Prasetya yang diungkapkannya melalui email, hanya berselang tiga hari
setelah Liana mengikrarkan sumpah
pernikahan dengan Heru suaminya. Hal itu menyebabkan keadaan ini menjadi terasa
demikian kompleks saja.
“Jika kau tak
terlambat membaca emailku, pastinya kau akan membatalkan pernikahan itu dan
lebih memilih untuk menerima cintaku kan, Li?”
Liana terkesiap
mendengar pertanyaan Prasetya barusan. Ia kembali menunduk, mencoba mencari
kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang membingungkan itu.
Setelah hening cukup
lama, Liana memberanikan diri untuk mulai merangkai kata, “Sepertinya, kini aku
memang harus jujur, Mas Pras. Apa kau siap mendengarnya?”
Prasetya mengangguk mantap.
“Maaf Mas, jujur saja,
sejak kecil, aku memang merasa kehadiran Mas di sisiku begitu membuatku nyaman.
Mas menjagaku, menjadi teman bermainku yang menyenangkan, dan selalu berusaha
membuatku tertawa. Namun, semua itu malah membuatku menganggap Mas Pras seperti
kakak kandungku sendiri. Mas tahu kan aku aku nggak punya kakak laki-laki?”
Liana menarik napas
dalam.
“Terlepas dari
kenyamanan yang kurasakan saat bersamamu dulu, aku…aku sungguh-sungguh mencintai
Mas Heru. Maafkan aku, rasanya memang sampai kapan pun, aku takkan mampu
membalas cintamu.”
Prasetya tertunduk.
Dalam. Mungkin ia hendak menyembunyikan air mata yang mulai berlinang.
“Carilah cinta
sejatimu, Mas. Aku yakin, laki-laki baik seperti Mas, pasti akan mendapatkan
perempuan yang baik juga. Aku pamit pergi ya, Mas.”
Liana mengusap air
matanya. Ia tahu apa yang dikatakannya barusan pasti akan menghancurkan hati
laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu. Hal itu juga membuat
hatinya merasa sedih.
Liana beranjak pergi.
Meninggalkan Prasetya yang masih tertunduk dalam kepedihan hatinya. Barulah ia
menyadari kini, bahwa cintanya memang tak pernah terbalas oleh Liana. Gadis
pemilik sorot mata sekerling kejora, yang dulu pernah menghiasi hari-harinya.
Bagi Prasetya, Bintang
kejora itu kini telah tersaput awan, berganti hitam kelam malam yang rasa-rasanya tengah menggelayuti ruang hatinya kini.
0 komentar:
Posting Komentar