Oleh:
Gemintang Halimatussa’diah
Salju tak jemu-jemunya turun menemani langkahku dan Mas Heru
menyusuri daerah Myeondong, sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal di Korea.
Setelah puas jalan-jalan dan belanja, Mas Heru mengajakku makan di salah satu
restoran favorit kami. Restoran itu tak hanya menjual beragam makanan Korea,
tetapi juga makanan yang mirip cah kangkung di Indonesia. Itulah yang membuat
kami sering mengunjungi restoran ini setiap kali Mas Heru datang mengunjungiku.
Mas Heru memilih tempat duduk di dekat kaca
jendela—tempat favorit kami. Dari situ, kami dapat memandang langsung ke arah
jalan yang kini sudah mulai memutih oleh butiran salju. Hmm, saat-saat seperti
ini, membuatku teringat akan masa-masa awal pernikahan kami lima
tahun lalu. Saat itu, aku masih tinggal di Indonesia dan kami sering
menghabiskan waktu berdua setiap akhir pekan tiba.
Ah, benar-benar momen yang romantis! Enam bulan tak
bertemu, rupanya Mas Heru benar-benar merindukanku. Kerinduan yang sama dengan
yang kurasakan kepadanya. Aku berharap, semoga waktu tak buru-buru beranjak
dari momen kebersamaanku dengan Mas Heru ini.
“Ratih, aku ingin membicarakan hal yang serius
denganmu.” Melihat wajah Mas Heru yang tampak serius, aku malah merasa geli.
Rasanya ingin tertawa, tapi urung kulakukan, hanya segaris senyum yang
kutunjukkan padanya.
“Bicara tentang apa Masku sayang..?” Aku tersenyum
lebar.
“Aku, mm…Kita sudah dua tahun menjalani hubungan jarak
jauh seperti ini. Aku merasakan….”
“Iya, Mas. Sama, aku juga merasa begitu merindukan,
Mas. Juga semua yang ada di Indonesia.”
“Iya, aku selalu merindukan keberadaanmu di sisiku,
keberadaan seorang istri.”
Kembali ku tersenyum mendengar ucapan Mas Heru. Ia
lalu meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut.
“Ratih, izinkan aku menikah lagi.” Aku terkesiap.
Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahku, sekejap saja langsung menghilang.
Segera kulepas genggaman tangan Mas Heru dengan kasar.
“Maaf, aku tahu ini pasti akan sangat terasa berat
bagimu. Tapi, kumohon, pahamilah keadaanku, Rat. Aku seorang laki-laki normal.
Bagaimana caranya aku menahan kebutuhan biologisku? Bagaimanapun juga, kita
harus realistis kan, Rat?” lanjut Mas Heru. Kata-katanya langsung menimbulkan
rasa pening di kepalaku. Bahkan, terasa ada
nyeri yang menusuk-nusuk relung hatiku.
“Bukan aku tak mencintaimu lagi, Rat. Tapi, aku memang
sangat membutuhkan kehadiran seorang istri yang melayani, memasakkan makanan,
menemani, dan…aku juga merindukan kehadiran seorang anak, Rat.”
Degh..! Kata-kata Mas heru barusan, benar-benar terasa
menyesakkan. Sesak yang kemudian mendesakkan bulir-bulir bening yang sejak tadi
membendung mataku. Dua anak sungai mengalir deras di pipiku. Kelu, aku tak
mampu berucap. Yang mampu kulakukan hanyalah berlari, berlari sejauh mungkin
dari Mas Heru. Bahkan, mungkin juga berlari dari kenyataan pahit yang baru saja
kudengar dari orang yang amat kucintai.
0 komentar:
Posting Komentar