BUKAN
SEPATU KACA
Oleh:
Gemintang Halimatussa’diah
“Kenapa memangnya, Kak Ray?”
“Kakak kan nggak suka warna merah, Dek.“
“Tapi modelnya bagus loh, Kak.” Diana mencoba membujuk.
Rayya lantas tersenyum sambil menjawil pipi adiknya
yang kini duduk di kelas 9 SMP itu. Si pemilik wajah hanya mampu merengut
pasrah. Rayya kembali mengedarkan pandangannya pada pasangan-pasangan sepatu
yang tersusun rapi di raknya. Belum, ia masih juga belum menemukan sepatu yang
sesuai dengan kriterianya.
“Kalau yang ini, Kak?” Diana kembali menunjukkan
sebuah sepatu kepada Rayya. Sepatu berhak tinggi dengan motif variasi bunga dan
bentuk hati di tengahnya. Kembali dahi Rayya mengernyit. Diana paham, kakaknya
pasti tidak suka dengan pilihannya itu.
“Tenang, ini juga kakak lagi cari.”
Diana menyerah. Dengan wajah tertekuk, ia lantas duduk
di sebuah bangku kayu panjang yang tersedia di pojok ruangan toko sepatu itu.
(*)
“Gimana sudah menemukan sepatu yang cocok?” tanya mama
sambil tersenyum begitu mereka tiba di rumah.
“Boro-boro, Ma. Tiga jam kita keliling-keliling di toko
sepatu itu, Kak Rayya malah nggak beli apa-apa. Malu kan, Ma.” Diana melipat
tangannya di dada. Sementara Rayya malah tertawa kecil melihat mimik wajah adiknya
yang tampak bertekuk itu.
“Kok nggak jadi beli sepatunya, Ray? Memangnya nggak
ada yang cocok, ya?”
“Iya, Ma. Susah banget menemukan sepatu sebagus
sepatuku yang hilang.”
“Rayya, sepatu semacam itu mana mungkin ada lagi? Ya
kamu cari sepatu yang beda dong!”
Rayya hanya mampu tertunduk. Sebenarnya bukan masalah modelnya
yang membuat pikiran Rayya tak bisa lepas dari sepatunya yang hilang itu.
Melainkan, nilai historis dan kenangan yang melekat padanya. Bagaimanalah,
sepatu itu merupakan hadiah wisuda Rayya, yang juga merupakan hadiah terakhir
dari ayahnya sebelum meninggal dua bulan yang lalu. Itulah yang menyebabkannya
merasa sangat berat kehilangan sepatu kenangan itu.
Melihat Rayya tertunduk lesu seperti itu, mama
sebenarnya dapat merasakan apa yang tengah dirasakan Rayya. Mama dapat memahami
bagaimana perasaan Rayya yang merasa begitu kehilangan benda yang amat penting
bagi dirinya.
Assalamu’alaikum
… bel rumah berbunyi. Diana lantas segera menuju ke
ruang depan untuk membuka pintu.
“Kak Rayya … !” panggil Diana beberapa jenak kemudian.
Rayya yang tengah duduk bersitirahat pun segera menuju ke ruang depan.
“Ada apa, Di?”
“Ketemu! Sepatunya sudah ketemu!” Diana bersorak
sambil memperlihatkan kotak sepatu yang dipegangnya.
Rayya segera mengambil kotak sepatu yang tutupnya
sudah terbuka itu, lalu mengamati isinya. Sebuah sepatu! Sepatu flat berwarna hitam dengan pita mungil
di sisi kanan yang amat dikenalnya. Wajah Rayya langsung berubah sumringah demi
menemukan kembali sepatu kesayangannya itu.
“Makasih ya, Mas.” Diana berucap ke arah laki-laki
yang membawa sepatu itu. Pandangan Rayya pun kini ditujukan pada laki-laki di
hadapannya itu.
“Loh, Kak Hariri?” Rayya terbelalak.
“Eh, iya Rayya.” Pria bernama Hariri yang ternyata
merupakan kakak kelas Rayya sewaktu kuliah dulu itu, tampak sedikit kikuk.
“Jadi, kakak yang menemukan sepatu saya ini? Ketemu di
mana, Kak?”
“Iya, itu sepatunya ada di mushola fakultas.
Sepertinya waktu itu kamu pernah sholat di sana ya? Terus, ada yang tidak
sengaja memakai sepatu kamu. Setelah sadar itu bukan sepatunya, lantas dia
mengembalikan sepatu itu kepada pengurus rohis fakultas. Begitu cerita yang
saya dengar dari pengurus rohis.” Dengan tetap menunduk, Hariri mencoba
menjelaskan.
Rayya kembali mengingat kejadian sebulan yang lalu
saat ia mampir ke kampus untuk menghadiri sebuah acara. Ia memang kehilangan
sepatunya selepas menunaikan sholat Dzuhur di musholah fakultas.
“Wah, kakak kok tahu kalau ini sepatu Kak Rayya?
Terus, kenapa baru mengembalikannya sekarang?” tanya Diana antusias.
“Iya, seingat saya waktu acara di kampus sebulan lalu
itu, Rayya memang memakai sepatu ini. Terus, maaf kalau saya baru bisa
mengembalikannya sekarang. Karena saya baru mendapatkan alamat Rayya belum lama
ini.”
“Wah, ternyata kakak ini memperhatikan Kak Rayya juga,
ya. Sampai sepatunya aja kakak tahu kalau ini milik Kak Rayya,” celoteh Diana.
Hariri lantas tertunduk. Tampak rona merah di wajahnya
yang putih bersih itu. Rayya pun tertunduk mendengar perkataan adiknya itu.
“Eh, kok malah pada diam? Harusnya Kak Rayya
mengucapkan terima kasih pada kakak ini.”
“Eh, iya, terima kasih ya Kak Hariri.” Rayya
menyunggingkan senyum ke arah Hariri yang juga sedang melihat ke arahnya. Mata
mereka bertemu. Lantas menunduk kembali. Rona merah kembali muncul di wajah
mereka berdua.
“Eh, kok pada berdiri saja? Ayo masuk dan duduk dulu!”
ajak mama yang baru muncul dari ruang tengah.
Perbincangan mereka pun kemudian berlanjut. Dari perbincangan
perihal sepatu, menuju perbincangan lain yang kemudian banyak memunculkan rona
merah di wajah dua insan yang telah lama memendam rasa itu.
BIODATA
PENULIS
Gemintang Halimatussa’diah adalah nama pena dari
Halimatussa’diah Batubara, yang beralamat di Depok. Ia dapat dikontak melalui
akun FB Gemintang Halimatussa’diah Batubara dan blog http://www.gemintang-birru.blogspot.com.
0 komentar:
Posting Komentar