Oleh: Gemintang
Halimatussa’diah
Lintang tampak mengernyitkan dahinya. Apakah semua yang dikatakan ibu-ibu itu
benar adanya? Bagaimana bisa ya hal itu terjadi? Pikirnya dalam hati.
“Kenapa mesti bingung sih, Bu Lintang. Ditanya-tanya
terus sama pria muda yang ganteng seperti Pak Arga kok malah terlihat bingung
seperti itu?” tanya Bu Hera salah satu teman seprofesi Lintang di SMP Suka
Harapan tempatnya bekerja.
Ya, mungkin ada benarnya apa yang disampaikan Bu Hera
itu. Arga adalah sosok pria muda bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang cukup
tampan. Usianya lebih muda empat tahun dibanding Lintang. Mungkin seharusnya ia
memang merasa tersanjung mendapati kenyataan bahwa laki-laki itu kini tengah
mendekati dirinya. Namun, untuk memilih jodoh, tentu saja bukan hanya perkara tampilan
fisik semata bukan? Hal itulah yang kini membuat resah hati Lintang. Terlebih,
Lintang hanya menganggap Arga sebagai teman kerja biasa.
“Bu, Pak Arga tanya lagi tuh ke saya. Ibu sudah punya
calon atau belum?” Diiringi kedipan mata, Bu Lia bertanya pada Lintang.
“Bilang saja, calon sih sudah ada, tapi masih belum
dipertemukan. Yang pasti, namanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh.” jawab Lintang sekenanya. Hal itu membuat Bu Lia
memonyongkan mulutnya. Ya, banyak teman kantor yang sangat mendukung perjodohan
Lintang dengan Arga. Mungkin hal itu didorong keinginan mereka untuk dapat
melihat Lintang segera memiliki pasangan. Maklum, di sekolah itu memang hanya
Lintang dan Arga yang masih single.
Awalnya, Lintang memang masih merasa tak terganggu
dengan perjodohan itu. Namun, sejak Arga berani menelepon dirinya dengan
mengeluarkan kata-kata mesra, rasanya Lintang tak tahan lagi. Ia pun lantas
berterus terang pada rekan kerjanya itu.
“Maaf, Pak. Mohon jangan telepon saya lagi jika hanya
ingin mengeluarkan kata-kata rayuan semacam itu.”
“Loh, memangnya kenapa, Say? Kata Bu Lia dan Bu Hera,
kamu belum punya calon, kok.” tanya Arga dari seberang telepon sana.
“Tapi bukan berarti saya mau menerima kata-kata rayuan
seperti itu. Sekali lagi maaf, Pak Arga. Selama ini saya masih menghargai Bapak
karena Bapak adalah rekan kerja saya. Tapi, kalau hanya untuk menanyakan
hal-hal tidak penting, apalagi ditambah
rayuan segala, mohon maaf lebih baik tak perlu menelepon saya lagi.”
Hening sejenak.
“Memangnya, Bu
Lintang tidak ingin mendapat jodoh? Saya memang tadinya ingin berpacaran dengan
ibu. Ibu nggak suka ya sama saya?”
Apa? Pacaran?
Bukan. Sama sekali bukan cara itu yang kuinginkan untuk menemukan jodoh. Meski usiaku
sudah semakin dewasa, aku tetap tak berpikiran untuk melakukan hubungan yang
dilarang oleh Allah itu. Benar saja perkiraanku. Dia memang bukanlah tipe
laki-laki yang tepat untukku. Batin
Lintang.
“Sekali lagi, mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa, sebab
saya tidak ingin melakukan hubungan pacaran. Saya harap Bapak dapat memahami
hal itu,” jelas Lintang kemudian.
Lagi-lagi terasa hening, kali ini dalam beberapa
jenak.
“Oke.” Hubungan telepon pun terputus usai kata itu
dilontarkan oleh Arga. Entah bagaimana jadinya hubungan mereka usai percakapan
itu. Lintang tak mau ambil pusing lagi. Yang terpenting baginya, ia telah
menyatakan sikap untuk tak lagi terjebak dalam proses perjodohan yang sama
sekali tak diinginkannya. Biarlah ia menunggu sosok yang tepat itu datang pada
waktu dan cara yang tepat pula.
11 komentar:
hemmm hemmm hemmmmm >.<
wah..wah...nama tokohnya nama anakku semua lho mba...kok bisa ya...hehehe
Kenapa ni Vey? Heu2.. :P
Oya? Wah, kebetulan sekali ya mbak...heu2.. :)
*_*' Labelnya harusnya True story tuh ya... akhem
Wah, ini banyak ramuan fiksinya kok, heu2... ^^
cikiciwww bu lintanggg
Kenape ni Nci Luluuu? heu2.. :D
Tapi terkadang jodoh untuk prp itu harus dijemput, tidak menunggu jemputan.
Maksudnya harus nempuh usaha juga, tentu saja lewat jalan yg diperbolehkan Islam.. :)
ah, knapa musti pacaran sih pak arga? pikir bu Lintang hehehhe
@Mursalim, ya betul sekali. Tapi sebagai perempuan, rasanya ia akan merasa lebih berharga jika didatangi, bukan sebaliknya.,heu2..
@nahlatulazhar, Heu2.. beda prinsip sih ya.. :D
Posting Komentar