Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
“Hei, teman-teman denger nih! Aku sangat mencintainya, sungguh. Ia selalu ada di hati dan pikiranku. Ingin rasanya bisa menjadi orang yang spesial baginya. Tapi, aku tahu dia takkan mungkin mencintaiku. Tak apalah, kuserahkan semuanya pada yang di atas. Apa tuh yang di atas? Ha ha ha ..” Derai tawa bergemuruh, ketika seisi kelas mendengar Hesti membacakan buku harian Dinda barusan, tentu tanpa sepengetahuan sang empunya.
“Hei, teman-teman denger nih! Aku sangat mencintainya, sungguh. Ia selalu ada di hati dan pikiranku. Ingin rasanya bisa menjadi orang yang spesial baginya. Tapi, aku tahu dia takkan mungkin mencintaiku. Tak apalah, kuserahkan semuanya pada yang di atas. Apa tuh yang di atas? Ha ha ha ..” Derai tawa bergemuruh, ketika seisi kelas mendengar Hesti membacakan buku harian Dinda barusan, tentu tanpa sepengetahuan sang empunya.
Dinda yang baru saja kembali
dari kamar kecil, langsung merebut buku harian miliknya dari tangan Hesti. Alangkah
malu dan sedihnya ia, karena kini semua orang sudah tahu perasaan cinta dan
kagumnya kepada Kak Ari yang bintang bola basket itu. Padahal selama ini ia
memendam cintanya itu dalam-dalam. Demi menahan malu, Dinda pun langsung
berlari keluar kelas menuju taman di belakang sekolah. Di situ, ia menangis
sepuasnya. Sementara Hesti dan teman-temannya terus menertawai Dinda, Ferra yang
merupakan siswi populer dan jadi incaran banyak laki-laki itu, malah merasa iba
atas apa yang dialami Dinda.
“Ha.. ha.. ha..Dinda yang pake
jilbab itu, kan? Ha..ha..dia suka sama Ari? Ya gak mungkinlah! Dia tuh bukan
tipenya Ari. Si Ari tuh sukanya sama cewek cantik dan seksi, bukannya cewek
kampungan kaya si Dinda! Ha ha ha!” tawa Alex kembali berderai.
“Duh,
kamu kok tega banget sih, kasihan kan Dinda. Tau gak, aku jadi pengen deh
bantuin Dinda buat ngedapetin Kak Ari, biar semua anak pada terperangah karena
ternyata Dinda bisa juga ngedapetin Kak Ari.”
“Ya
gak mungkinlah, Fer. Udahlah, kamu gak usah ngurusin urusan orang kayak gitu.
Kasihan sih emang, tapi kita realistis aja lah, mana mungkin sih cowok paling
ganteng senatero sekolah kayak Ari, mau pacaran sama Dinda yang cupu itu!”
komentar Alex ketus. Sebenarnya, apa yang dikatakan Alex barusan memang masuk
akal, tapi dalam hati,
Ferra sudah punya rencana sendiri untuk membantu Dinda. Dia akan menjalankan
rencananya besok.
Keesokannya, Ferra yang
sebenarnya anak populer di sekolah Dinda itu, menghampiri Dinda yang sedang
duduk di jajaran cewek-cewek cupu lainnya. Dinda cukup terkejut dengan
kehadiran Ferra.
“Din, pulang sekolah ke rumah aku,
yuk!” Ajak Ferra.
“A..apa, Fer? Kamu ngajak aku
main ke rumah kamu?”
“Iya!
Aku pengen ngobrol banyak sama kamu, oke?”
“Ummm...Oke,
Fer, oke. Aku mau.” Dinda tampak sangat gembira karena diajak oleh Ferra yang
merupakan anak populer di sekolahnya. Ia tidak menyangka orang seperti Ferra
mau berteman dengannya.
***
Ternyata, Ferra mengajak Dinda
ke pusat perbelanjaan. Ia membelikan Dinda baju sekolah baru yang cukup ketat
agar Dinda kelihatan lebih modis. Ia juga membelikan Dinda alat-alat make up dan membawanya ke salon
kecantikan. Di salon itu,
Dinda didandani, rambutnya yang panjang juga ditata sedemikian rupa, hingga
membuatnya tampak sangat berbeda. Ia tampak jauh lebih cantik dan modis dengan
dandanan seperti itu. Bahkan, ia kini tampak seperti artis-artis sinetron yang
sering muncul di televisi.
“Tuh, kan, bener, Din, kamu
kelihatan cantik banget! Beda banget sama sebelumnya. Kamu juga kelihatan lebih
modis. Kalau besok kamu dateng ke sekolah dengan dandanan seperti ini, pasti
banyak yang bakal naksir sama kamu, termasuk Kak Ari tentunya.” ucap Ferra
bersemangat. Ia Sangat senang karena misinya membuat Dinda tampak cantik telah
berhasil.
“Maksud kamu.. besok aku harus
ke sekolah dengan dandanan seperti ini? Umm..tanpa jilbab?” tanya Dinda ragu.
Ferra mengangguk sambil tersenyum. Ia tampak bersemangat sekali.
“Ya
iyalah! Kamu keliatan jauh lebih cantik dan lebih modis dengan dandanan seperti
ini. Pasti banyak yang bakal pangling sama kamu, Din. Dan Kak Ari.. dia juga pasti akan terpesona
sama kecantikan kamu.” Ferra mencoba meyakinkan.
“Tapi…” Dinda ragu.
“Ah,
udah, gak usah pake tapi-tapian! Pokoknya, besok kamu datang ke sekolah dengan
dandanan ini ya! Percaya deh, kamu bener-bener cantik dan bakal bisa buat
cowok-cowok naksir, bukan hanya Kak Ari!” Ferra menyemangati, ya dia amat
bersemangat setelah mampu mengubah penampilan Dinda yang kerap terlihat terlalu
sederhana, jadi terlihat lebih cantik dan memesona.
Sejenak,
Dinda memerhatikan dirinya di cermin. Ia hampir tak dapat mengenali siapa orang
yang ia lihat di cermin itu. Ya, orang itu memang tampak sangat cantik. Rambut
panjangnya tergerai rapi dengan poni di dahinya. Bibirnya tampak mungil dengan
pulasan lipstik berwarna merah muda. Pipinya tampak lebih halus dan lembut dan
sedikit terlihat merona kemerahan karena telah dipolesi pemulas wajah berwarna
merah muda juga. Alisnya juga telah tertata rapi. Sungguh cantik! Sungguh
berbeda dengan wajah yang biasanya ia lihat di cermin.
“Gimana?
Kamu pasti seneng kan terlihat cantik seperti ini?” tanya Ferra sambil
mengangkat alisnya.
Dinda
hanya tersenyum dan mengangguk, sambil terus memperhatikan wajah yang terpantul
di cermin. Ia tampak sangat puas, bahagia,dan amat mengagumi wajahnya itu.
Setelah lama memandangi wajah barunya di cermin, ia pun kembali memberesi
dandanan wajahnya, dan kembali memakai pakaian yang semula ia pakai ke salon
ini. Meski terlihat cantik, ia sedikit merasa malu kalau harus pulang dengan
dandanan seperti itu.
“Kita
pulang yuk!” ajak Ferra.
Dinda masih tampak ragu apakah besok
ia harus berdandan seperti ini lagi atau tidak. Di perjalanan pulang, kelihatan
sekali kalau Dinda masih tampak bingung dan gelisah.
“Kamu kenapa keliatan bingung
gitu?” tanya Ferra seolah tahu kebimbangan yang dirasakan oleh Dinda. Dinda
jadi tidak enak hati pada Ferra yang sudah demikian bersemangat mau
membantunya.
“Mmm…jujur aku masih ragu. Tapi,
terimakasih ya, Fer atas perhatian dan bantuan kamu hari ini.” ucap Dinda
tulus.
“Ok, no problem! Aku duluan ya, Din. Jangan lupa yah besok..” ujar Ferra
menutup perbincangan mereka. Ia pun membalikkan badan menuju jalan yang berbeda
dengan Dinda. Dinda masih memerhatikan punggung Ferra sampai tak terlihat lagi.
Ia sungguh diliputi kebimbangan dan
keraguan. Jilbab yang telah lama dipakainya, apakah akan ia lepaskan besok? Demi
Kak ari yang telah lama menghiasi dinding hatinya, demi membalas semua ejekan
temannya, demi pembuktian bahwa ia pun dapat tampak cantik seperti Ferra atau
teman-teman lainnya. Demi itu semua, Dinda jadi berpikir ulang. Keraguan memang
masih menyelimuti perasaannya, tapi ia pun merasa ingin sekali membuktikan pada
teman-teman yang telah mempermalukan dirinya itu, bahwa ia juga bisa tampil
cantik dan memesona. Apalagi, jika Kak Ari pada akhirnya bisa jatuh hati
padanya. Wahh…betapa senang hatinya. Membayangkannya saja sudah membuat matanya
berbinar-binar. Hasratnya jadi demikian membuncah.
Dinda penasaran sekali bagaimana
reaksi teman-temannya jika mengetahui bahwa ia berhasil menjadi kekasih Kak
Ari. Hmm…mereka pasti bakal gigit jari dan menyesali apa yang terlanjur mereka
katakan pada Dinda. Mereka pun pasti bakal sangat iri hati padanya.
Bayangan-bayangan itu menari-nari di kepala Dinda. Ia sampai senyum-senyum
sendiri membayangkannya. Hmm..sepertinya, sepertinya akan sangat menarik jika
hal itu benar-benar terjadi. Dinda mengepalkan tangannya bersemangat. Apakah
dia sudah memutuskan sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya?
***
Keesokan harinya, begitu Dinda
memasuki kelas, tampak banyak teman yang terperangah melihat penampilan baru
Dinda. Syifa langsung menghampiri Dinda dengan wajah ceria dan bahagia.
“Selamat ya, Dinda” ucap Syifa. Dinda hanya mengangguk sambil tersenyum. Kini,
giliran Ferra yang menghampiri Dinda.
“Tarimakasih, ya, Fer, karena
kamu udah menyadarkan aku.” ucap Dinda sambil tersenyum.
“Apanya
yang makasih? Apanya yang udah menyadarkan? Din, kalau dengan jilbab lebar dan
tertutup rapet kaya gini sih, Kak Ari gak bakalan bisa jatuh cinta sama kamu.
Kok, kamu gak ngikutin saran aku kemaren sih? Kenapa kamu gak pake baju dan
dandanan seperti yang aku bilang kemaren?!!!” Ferra tampak kesal.
“Maaf,
Fer, aku sangat menghargai maksud baik kamu. Kamu adalah salah seorang teman
yang sudah mau bersikap sangat baik sama aku. Tapi.. aku gak bisa, Fer. Tadi
malam aku salat tahajud, lalu aku membaca ayat suci Al Quran surat Al Ahzab
ayat 59, dan ayat lainnya. Dari situ..aku justru merasa sangat bersalah karena
sudah mau melanggar perintah Allah yang sebenarnya Ia berikan untuk kebaikan
kita sendiri. Untuk
menjaga diri dan kehormatan kita dari kefanaan dunia serta isinya. Tapi, aku
malah mau menukar bukti cinta dan sayang Allah itu hanya untuk cinta seorang
manusia yang belum tentu dapat mencintaiku sebesar cinta Allah padaku.”
Ferra masih tampak kesal dan tak
mau menerima. “Kamu ngomong apa sih, Din? Aku nggak ngerti.” Ferra sulit
mencerna kata-kata Dinda barusan. “Lagi pula, aku pikir kamu tuh cinta dan
pengen banget memiliki Kak Ari. Ternyata cuma segini doang?!” Ferra ngotot.
“Insan berkasih karena Allah,
bertemu dan berpisah karena cinta-Nya. Fer, kalau Allah memang berkehendak aku
berjodoh dengan Kak Ari, maka kami pasti akan bisa bersatu. Tapi jika tidak,
aku melepas jilbab pun, gak akan ada gunanya. Lagi pula, aku lebih memilih
melaksanakan perintah-Nya yang seharusnya lebih ku cintai dari apapun, ketimbang
harus memilih cinta seorang manusia. Itu sungguh gak sebanding, Fer. Aku
mohon kamu mengerti, ya, Fer.. sekali lagi, aku ucapkan tarima kasih atas perhatian kamu..” Dinda
lalu beranjak pergi. Ia menuju tempat duduknya.
Ferra masih tertegun dengan
perkataan Dinda. Masih tak dapat disembunyikan betapa kesal perasaannya karena
Dinda tak mau mengikuti sarannya kemarin. Namun, harus diakui pula, kata-kata
Dinda memang ada benarnya. Kata-kata itu merasuk lembut ke dalam hatinya dan
terus berputar-putar di kepalanya. Cinta Ilahiah? Cinta manusia? Hmm..tadinya,
ia ingin mengubah Dinda menjadi sosok yang berbeda, tapi kini, justru
pemikirannyalah yang berubah. Kini ia sadar, cinta sejati dan paling tulus
adalah cinta ilahiah, cinta seorang hamba kepada tuhannya. Keindahan cinta
seperti itu takkan dapat tergantikan dengan apa pun di dunia ini. Dalam hati,
Ferra berujar, aku mengerti Dinda, dan
aku memaafkanmu. Aku juga berterima kasih karena kamu sudah mencerahkan
pemikiranku.
0 komentar:
Posting Komentar