Musuh
Pertama: Keumuman
Dalam puisi keumuman harus dihindari. Seorang penyair
yang baik akan menjauh dari unsur umum dan pandangan yang serba umum baik
pandangan umum mengenai sosial, politik, moral, agama, atau apa pun.
Dalam menulis sajak tentang ibu, misalnya, akan
bermunculan segera sajak-sajak semacam ini:
Oh
ibu, alangkah mulia hatimu
Kau
lahirkan dan besarkan aku
Membelai
dan memberiku susu
Menuntun
anakmu jalani kehidupan
Hingga
tercapai cita-citaku.
Jika sajak itu tentang guru, maka lahirlah sajak-sajak
semacam ini:
Oh
guruku, kau didik aku
Mengajariku
berbagai ilmu
Bagi
bekal hidupku
Dari
matematika sampai ilmu bumi
Kau
ajari kami hingga kami mengerti
Apa
yang harus kami jalani
Dalam
hidup ini.
Ubahlah temanya menjadi pengemis, maka sajak yang akan
muncul adalah:
Wahai
pengemis, betapa malang nasibmu
Meminta
sesuap nasi setiap hari
tidur
beratapkan langit dan beralaskan bumi
tiada
yang peduli.
Dengan sajak semacam ini tak ada seorang ibu, guru,
maupun pengemis yang akan terkesan dan tersentuh hatinya. Mengapa? Karena
sajak-sajak semacam ini berbicara mengenai ibu, guru, dan pengemis yang umum.
Maka ibu, guru, maupun pengemis di sini menjadi stereotipe.
Bandingkan dengan sajak mengenai pengemis karangan
Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini:
Kalau
kau mati gadis kecil berkaleng kecil
kotaku
hilang tanpa jiwa
dan
bulan di atas sana tiada yang punya
Musuh
Kedua: Simplifikasi
Musuh kedua adalah simplifikasi alias penyederhanaan
yang banyak hubungannya dengan kebiasaan gebyah
uyah. Pada pengalaman sehari-hari saja jika kita renungi akan kita temukan
banyak hal menarik dan kadang pelik, apalagi dalam masalah-masalah yang lebih
besar dan kompleks.
Contoh di atas, yakni keumuman, masih ada kena-mengenanya dengan simplifikasi. Puisi
mengenai ibu, guru, dan pengemis, seringkali ditulis dengan pandangan
stereotipe seolah semua ibu, semua guru, semua pengemis adalah sama. Padahal
setiap orang memiliki ibu masing-masing yang berbeda-beda baik wajah,
kebiasaan, kesenangan, selera akan musik dan warna, makanan kesukaan, cara
berjalan, cara marah, cara tersenyum, apalagi watak dan tabiatnya.
Begitu juga halnya dengan guru. Mereka pun berbeda
bentuk dan modelnya, berbeda pangkat dan kualifikasinya, berbeda pengalaman dan
gaya mengajarnya. Sementara itu, pengemis pun berbeda-beda latar belakang,
pengalaman hidup dan sebagainya. Sama sekali tidak sama perasaan pengemis yang
habis mendapat uang seratus ribu dari orang yang menang lotre atau pinangannya
diterima, dengan pengemis yang habis ditendang oleh politisi caleg yang ngamuk
dan murang-maring karena tak terpilih oleh rakyat.
Bahkan, tidak jarang pandangan orang atas pacar pun
sama. Tidak percaya? Lihat saja sinetron-sinetron kita yang mulia. Padahal,
tidak setiap kerinduan sepasang kekasih sama dengan gerak slow motion di pantai dalam rangka untuk saling berpelukan. Marah
pun berbeda-beda jenisnya dan tidak selalu membentak-bentak dengan suara
menggeledak dan mata terancam keluar dari sarangnya. Sedih pun sangat beragam
jenisnya dan tidak selalu harus menangis tersedu-sedu dengan dandanan masih
menor.
Simplifikasi lain, misalnya, memandang Barat pastilah
semuanya tertib dan cerdas atau sebaliknya Barat pastilah semuanya bebas,
ngawur, dan membenci agama. Kata Barat
itu sendiri sudah simplifikasi, karena ada beragam negara dengan beragam budaya
dan setiap negara punya penduduk berjuta-juta yang masing-masing manusianya
punya pengalaman dan kekhasan sendiri-sendiri. Begitu juga dengan Timur.
Musuh
Ketiga: Propaganda dan Reklame
Propaganda dan reklame adalah musuh ketiga puisi. Jika
ingin membuat puisi jadi sesuatu yang ngeri, maka tak ada yang lebih tepat
selain menulis puisi dalam semangat propaganda atawa reklame. Propaganda dan
reklame seringkali lepas dari hubungan personal dengan manusia. Ia masih
berkaitan dengan pemahaman yang serba umum. Kata abstrak yang dikepalkan ke
pembaca untuk menanamkan indroktinasi.
Ayo
pemuda ayo pemudi
Rapatkan
barisan membangun negeri
Jangan
biarkan jangan diberi
Neokolonialisme
mengancam negeri
Dadamu
dadaku bagi pertiwi
Atau
Jangan
kau tebang pohon
Wahai
durjana aku memohon
Biarkan
pohonan subur. Ayo kita ganyang
Siapa
saja yang berani menebang.
Musuh
keempat: Klise atawa Janda dan Duda Kata
Wajahmu
cantik bagaikan lukisan
Aku
mencintaimu aku menyayangimu
dengan
sepenuh hatiku
engkaulah
belahan jiwa satu-satunya
Hingga
akhir hayatku.
Hampir semua pilihan kata dan ungkapan di atas sudah
digunakan berkali-kali untuk macam-macam kesempatan. Maka semua ungkapan dan
kata di sana sudah menjadi janda dan duda berkali-kali. Sejauh menyangkut hal
ini, penyair seyogyanya mencari dan menemukan kata yang masih perawan. Seorang
penyair berkewajiban sebagai yang pertama meminang kata atau ungkapan selagi ia
masih perawan untuk dijadikan pengantin bagi pengalaman puitiknya. Jika pun ia
harus juga berurusan dan menikahi janda kata, sang penyair harus memberinya
pelaminan baru dalam konteks pernikahan puitik yang baru.
Untuk urusan yang sama, Pablo Neruda menulis petikan
ini:
Sejak
aku mengenalmu
Kau
tak mirip siapa pun
Dalam pada itu, sajak mengenai pengemis atau anak
nelayan miskin tidak dapat ditulis dengan janda-janda dan duda kata. Apalagi
digabung dengan propaganda, slogan, dan reklame. Dengan mengenali baik-baik
sosok dan urusan yang akan ditulis dan mengolahnya dengan cara pandang yang
khas sesuai kepribadian penyairnya, bisa saja lahir sajak mengenai nelayan
seperti ditulis Frederico Garcia Lorca di bawah ini:
Balada Air Garam
Sang laut
senyum di
jauhan.
Gigi
berbusa.
bibir
cakrawala.
‘Apa yang
kau jajakan, anak merana,
anak yang
telanjang dada?’
‘Tuan, saya
berjualan
air garam
samudera.’
‘Apa yang
kau bawa, anak kelam,
berbaur
dengan darahmu?’
‘Tuan, saya
membawa
air garam
samudera.’
‘Ini asin
airmata
datang dari
mana, ibu?’
‘Tuan, saya
menangis
air garam
samudera.’
‘Jiwa pahit
yang di dalam ini,
dari mana
munculnya?’
‘Sungguh
pahit,
Air garam
samudera!’
Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi
berbusa.
bibir
cakrawala.
Musuh
Kelima: Nasihat, Diri Nan Mulia, atawa Takabur
Memberi nasihat selalu berisiko tinggi bagi penyair.
Di satu sisi ia dapat dianggap memberikan nilai-nilai moral dan budi pekerti,
namun sebenarnya hal ini paradoksal karena sebuah nasihat tidak bisa tidak akan
lahir dari andaian bahwa sang pemberi nasihat adalah sosok yang lebih mulia.
Anggapan diri sebagai sosok mulia disadari atau tidak adalah sebuah tindakan
yang takabur. Di sisi lain puisi semacam ini mengandaikan pembacanya sebagai
sesosok pendosa yang harus segera bertaubat. Pada kenyataannya, sajak-sajak
berpetuah jarang berhasil membawa pembaca pada pertobatan dan lebih sering
membuat pembaca bosan dan enggan.
Tabahkan hati Anda membaca sajak di bawah ini:
Wahai
durjana lekaslah bertobat
Tinggalkan
semua jalan yang sesat
Tidakkah
kau lihat para malaikat
Kan
memasukkanmu ke neraka laknat.
Dalam sastra, termasuk puisi, nilai-nilai moral akan
mencekam pembaca justru saat tidak disemburkan sebagai khotbah dan wejangan
melainkan lewat sebuah pengalaman konkret, baik pengalaman konkret tokoh
tertentu yang dijadikan protagonis suatu puisi maupun dari pengalaman batin-aku
lirik yang jujur dan manusiawi.
Sampai sekarang, dalam khazanah puisi Indonesia, belum
ada sajak ketuhanan yang lebih indah dibanding sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah
dan “Doa” Chairil Anwar. Kebetulan keduanya mewakili pengalaman ketuhanan yang
berbeda, yang satu pengalaman seorang mistikus yang saleh seperti Amir Hamzah
dan satu lagi pengalaman seorang pendosa seperti Chairil Anwar. Kedua puisi
tersebut sama sekali jauh dari pretensi memberi wejangan dan nasihat kepada siapa
pun. Namun, justru karena itu pembaca dikecam oleh penghayatan moral dan
pengalaman ketuhanan yang sublim dan memperkaya batin.
Di
tamanku, tak ada yang lebih indah
dari
duri di musim bunga,
Tuhan,
Hafiz rindu padamu.
Demikian petikan sajak indah Hafiz, seorang sufi besar
yang mengandaikan dirinya dan khazanah taman batin dan keimanannya tak lebih
dari ranting kering dan duri. Sementara orang lain boleh jadi memposisikan
taman batinnya penuh bebungaan mekar aneka warna sembari memneri nasihat orang
lain bagaimana tatacara menanam bunga moral agar subur dan sukses. Itu sebabnya
Haji Hasan Mustapa sufi dan penyair
besar dari tatar Sunda meskipun seorang ulama besar, tidak memberi nasihat dari
posisi aku yang mulia kepada kaum pendosa, melainkan menulis sajak semacam ini:
Melenggang
mencari itu,
ini lagi
ini lagi
sini lagi
sini lagi
selama
mencari mana
ini lagi
ini lagi
selama
mencari selatan,
utara lagi
utara lagi
selama
mencari barat
timur lagi
timur lagi,
telama
mencari ada,
tiada lagi
tiada lagi.
Mengapa demikian, para penyair yang telah tinggi
pencapaian ruhaninya mafhum bahwa memposisikan diri sendiri sebagai sosok mulia
adalah sebuah tindakan yang tak patut dan takabur. Mereka terlalu tawadhu untuk
bertindak seperti itu. Boleh jadi mereka enggan pengalaman pelacur dan “sang
ulama” dalam kisah sufi kembali berulang. Saat itu seorang “ulama” dengan
sorban menjulang memaki-maki seorang pelacur sebagai makhluk hina, durjana,
kerak neraka, dan semacamnya. Pelacur itu sambil termangu dengan hati kecut
berkata:
“Tuan, benarlah saya seperti yang Tuan katakan. Tapi
adakah Tuan sebagaimana yang tuan bayangkan?”
Agus R. Sarjono
Dikutip dari Horison Majalah Sastra
(Edisi Tahun XLV, No. 11/2010, November 2010)
Halaman 2—5
0 komentar:
Posting Komentar