Oleh: Gemintang Halimatussa’diah
“Kenapa harus teratai?”
tanyaku kecewa pada pangeranku yang seolah masih saja belum mampu memahamiku di
usia pernikahan kami yang genap satu tahun ini. Aku tuh sukanya BUNGA TULIP..!
Bukan TERATAAAAIIII..!
“Tidakkah bunga itu tampak cantik? Terlebih lagi ia
memiliki filosofi yang sangat bagus. Kamu tahu kan, mereka hidup di dalam air
dan di antara lumpur. Meski begitu, ia tetap bisa tampak cantik dan menjadikan
seluruh danau itu terlihat indah memikat mata.” Aku hanya dapat mengangguk
mendengar penjelasan suamiku itu. Ya mungkin saja dia benar tentang filosofi
bunga teratai, tapi tetap saja aku sudah keburu jatuh cinta pada tulip biru yang
kuncupnya saja bisa tampak demikian memukau.
Kupandangi kembali danau tempat kami berbulan madu
kini. Ya, seandainya saja tak ada teratai-teratai itu, mungkin danau ini hanya
akan tampak biasa-biasa saja. Berkat kehadiran bunga teratai, danau ini jadi
tampak indah dan sering dijadikan tempat memadu kasih. Ah, di hari ulang tahun
pernikahanku ini, mengapa pula aku harus mengeluh. Seharusnya kan aku merasa bahagia. Ya, lebih baik kunikmati saja
suasana sendu ini, bersama pangeran hatiku tercinta.
Setahun
kemudian..
“Sepertinya,
ini memang tempat favorit kamu ya, tiap ulang tahun pernikahan, kamu pasti
mengajak aku ke sini. Apa karena teratai itu?” tanyaku sedikit menyindir. Enam
bulan yang lalu, aku baru mengetahui kalau suamiku dulu pernah menaruh hati
pada seorang gadis bernama Teratai. Jadi, itukah alasannya begitu menyukai
bunga satu itu?
“Bukan
hanya karena itu, tapi karena tempat ini menyimpan begitu banyak kenangan
tentang kita.” Senyumnya mengembang. Manis sekali. Namun, hatiku jadi terasa
getir, begitu mengingat gadis masa lalunya yang bernama Teratai itu.
“Aku
permisi sebentar, ya.” pintanya. Aku hanya mengangguk. Kupandangi lagi
bunga-bunga teratai itu. Ya, cantik. Namun, mereka sama sekali tak seperti
diriku. Mereka bisa tampak indah meski di tempat yang berlumpur dan kotor.
Sementara aku, justru bisa menjadi indah, karena ada orang yang membuat
kehidupanku menjadi indah, dialah Azzam suamiku.
“Sayang…”
Panggilan suamiku barusan, membuyarkan lamunanku, aku
pun menengok ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya aku, ternyata suamiku
tengah membawa bunga tulip biru kesukaanku! Tak hanya sekuntum, melainkan berkuntum-kuntum bunga tulip biru yang sangat
indah!
“Ini untukmu, Sayang.” Ia menyodorkan bunga itu ke
arahku.
Senyumku mengembang bermekaran, mungkin tampak seindah
mekarannya kuntum-kuntum bunga tulip ini. Tak mampu kujelaskan betapa
bahagianya perasaanku saat itu.
“Sebenarnya sudah lama aku ingin memberikan bunga
tulip biru untukmu, tapi sulit mendapatkan bunga yang terbaik di sini. Makanya,
begitu tahu temanku yang tinggal di Belanda mau kembali ke Indonesia, segera
saja aku minta dia untuk membawakan berkuntum-kuntum bunga tulip biru
kesukaanmu. Bagaimana? Kamu bahagia kan?” Senyum manisnya yang mengembang, kini tampak benar-benar begitu manis.
Tak ada sepatah pun kata yang mampu terucap untuk
menggambarkan perasaanku. Ada bahagia, haru, dan syukur yang melebur menjadi
satu menambah percikan rasa cinta yang kian bergelora. Hanya sebuah tindakan
spontan yang mampu kulakukan sebagai ungkapan betapa besar rasa bahagia dan
terima kasihku padanya.
Sawangan, 4 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar