Oleh: Gemintang Halimatussa'diah
“Pokoknya,
lain kali kalau kalian mau latihan basket atau ekskul apa pun lagi, yang
cewek-ceweknya harus pakai jilbab! Saya nggak mau ya, melihat ada di antara
kalian yang masih nggak menggunakan jilbab Selasa depan!” bentak Mbak Uki
kepada semua yang hadir di lapangan basket sekolah itu. Kontan, hal tersebut
membuat siswi-siswi yang ada di situ jadi merasa sewot.
“Ih, Mbak Uki ngebetein banget deh,
masa kita diwajibin memakai jilbab segala sih, kita kan ke sekolah cuma mau latihan
basket, bukannya mau sekolah kaya biasa.” keluh Dona.
“Tahu
tuh, lagian latihan basket itu kan gerah banget, apalagi harus pake jilbab
segala!” sahut Dira.
“Emang
sih, sekolah kita ini adalah SMA Islam, tapi kan kalau cuma ekskul doang nggak
apa-apa dong, kalau kita ngga pakai jilbab.” keluh teman yang lainnya. Wah,
sepertinya hampir semua siswi yang latihan basket hari ini, tidak terima dengan
perlakuan Mbak Uki tadi.
***
Aduh, latihan basket hari ini
benar-benar melelahkan. Sepulang latihan, Dira langsung rebahan di kamarnya.
Kala itu, kakaknya Dira, Mbak Utami, sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Ia
terlihat sibuk di depan laptopnya. Di sampingnya, terdapat sebuah buku yang
berjudul Jilbab. Iihh .. gue bete
banget sama benda yang satu itu, keluh Dira dalam hati. Namun, rasa kesalnya
itu kemudian membuatnya ingin membaca buku itu. Sebenarnya ada apa sih dengan
jilbab sehingga gue dan temen-temen harus banget pake benda yang satu ini.
“Mbak,
itu buku Mbak ya?”
“Iya, emang kenapa?” Mba Tami balik
bertanya tanpa menoleh, ia tetap fokus pada laptopnya.
“Dira boleh pinjem ngga?”
“Kamu ambil juga ngga apa-apa, kok,
Dir”
“Lho, kok gitu?”
“Iya, abis Mbak ngga suka sama buku
kaya begitu. Kamu kan tau sendiri Mbak tuh sukanya baca novel atau buku-buku karya
Kahlil Gibran, bukannya buku agama kaya begitu.”
“Terus, kenapa Mbak beli kalau Mbak
ngga suka?”
“Siapa yang beli? Orang itu dikasih
kok, sama temen Mbak si Sabila yang anak rohis itu.”
“Oh, dari Mbak Sabila. Ya, udah, aku
pinjem ya, Mbak.”
***
Hah?! Menggunakan jilbab itu wajib?
Masa sih? Kalau begitu, kenapa ngga semua cewek muslim memakai jilbab? Kalau
shalat aja wajib, semua muslim harus melaksanakan shalat, berarti kalau memakai
jilbab itu wajib, semua muslimah juga harus pakai dong? Masa sih?
Sejak membaca buku itu, dalam hati Dira
timbulpertanyaan-pertanyaan seputar jilbab. Apakah benar menggunakan jilbab itu
wajib? Wajib itu kan artinya bila dikerjakan mendapat pahala bila ditinggalkan
mendapat dosa. Kalau muslimah nggak menggunakan jilbab, berarti ia berdosa
dong? Dira jadi merasa ngeri membayangkan azab yang diberikan oleh Allah kepada
perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab dan sering mengenakan pakaian
terbuka seperti yang selama ini ia lihat pada perempuan-perempuan muslim yang ada
di sekitarnya. Mbaknya, teman-temannya, bahkan dirinya sendiri.
Untuk menghilangkan rasa penasarannya
tentang jilbab, Dira jadi sering bertanya kepada kakak kelas aktivis rohis di
sekolahnya tentang kewajiban memakai jilbab dan tentang hal-hal lain yang
berkaitan dengan perilaku seorang muslimah sepatutnya.“Tapi, gimana dong Kak
Shifa, saya kan belum siap untuk memakai jilbab, habis gerah sih, dan lagi
namanya juga remaja kan masih pengen dong pake baju-baju ketat yang modis.”
Curhat Dira.
“Ya,
itu sih, terserah kamu. Yang penting, kamu kan udah tahu segala konsekuensinya,
maka kamu harus siap menerima segala konsekuensi itu. Untuk tahap sekarang, kamu
lebih baik meyakinkan hati kamu dulu untuk berjilbab, kalau belum siap, ya,
berdoa saja mudah-mudahan Allah memberikan hidayah berupa keyakinan untuk
menggunakan jilbab. Insya Allah, Mbak juga akan mendoakan kamu.” Ucap Mbak
Shifa tulus. Tunggu dulu, mendoakan? Maksudnya mendoakan Dira untuk pake
jilbab? Aih, ntar dulu deh!
Setelah
membaca lembar demi lembar dari buku itu dan mendengar penjelasan dari Mbak
Shifa, Diramulaimemahamipentingnya menggunakan jilbab dalam Islam. Kini, mulai
timbul rasa bersalah dalam hatinya setiap kali ia keluar rumah tanpa menggunakan
jilbab. Namun, Dira masih belum mau untuk berjilbab, mengingat sikap dan
perilakunya masih belum baik. Ia juga masih ingin menggunakan pakaian-pakaian
yang modis ala Korea seperti yang sedang ngetrend sekarang ini.
Masih
bingung dan semakin penasaran, Dira pun kembali membaca halaman-halaman berikutnya
dari buku itu. Lalu ia kembali ke halaman sebelumnya untuk membaca ayat yang
menjadi dasar diwajibkannya berjilbab yang dikutip dalam buku itu. Ayat
tersebut berbunyi, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”(Q.S. AlAhzab: 59). Buku itu pun menjelaskan, “Setelah turunnya
perintah mengenai penggunaan jilbab, banyak di antara muslimah pada masa itu
yang langsung bergegas menggunakan jilbab. Sampai-sampai, ada yang menjadikan
gorden atau taplak meja untuk dijadikan jilbab. Kondisi tersebut berbeda sekali
dengan kondisi masa kini, di mana banyak muslimah yang mengabaikan perintah
Allah ini. Padahal, sesuai ayat tersebut, Allah hendak melindungi kaum muslimah
agar tidak diganggu oleh laki-laki hidung belang. Bukankah itu salah satu
bentuk kasih sayang Allah terhadap kaum muslimah? Namun amat disayangkan, kasih
sayang Allah itu diabaikan begitu saja oleh hamba-Nya yang tidak mau
mendengarkan apalagi melaksanakan perintah-Nya itu.”
Sungguh
aneh, saat pertama kali membaca penjelasan tersebut, Dira tidak merasakan apa-apa.
Biasa saja. Tapi kini, entah mengapa, tiba-tiba saja dadanya menjadi terasa
sesak, tubuhnya merinding, bibirnya bergetar kelu, dan air matanya tumpah tak
terbendung. Bibirnya menggumamkan, “astaghfirullahal’adhim”
berulang kali. Kata-kata yang tertulis dalam buku itu, sungguh telah
menggetarkan hatinya. Ia merasa sungguh berdosa karena telah melalaikan
perintah dari dzat yang sesungguhnya sangat mencintainya.perintah yang
sebenarnya diturunkan untuk melindungi kaum perempuan; dirinya, Mbaknya, dan
semua kaum muslimah. Baru kali ini ia merasakan hal yang sedahsyat itu. Dira
menyadari bahwa selama ini ia telah sangat berdosa dan sungguh jauh dari
perintah Allah.
Sejak
malam itu, ia pun merasa begitu mantap untuk menggunakan jilbab. Tidak sedikit
temannya yang mencibirnya atau menyindirnya dengan kata-kata, “mau ke mana Bu
Haji?” dan kata-kata lain yang mengusik perasaannya. Ia sempat merasa risih, namun
tekadnya sudah bulat. Pantang baginya untuk mundur. Selain itu, ia mendapat
dukungan dari Mbak Shifa yang berujar,”Subhanallah”,
seraya memeluknya, saat pertama kali melihat Dira memakai jilbab ke sekolah.
Teman-teman yang tergabung di rohis juga tampak amat bangga pada pilihan hati
Dira itu.
Karena
merasa nyaman dengan anak-anak rohis yang mendukungnya, Dira pun mulai aktif
mengikuti kegiatan rohis di sekolahnya. Ia kini merasa lebih tentram, ketentraman
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hari-hari Dira kini terasa lebih
bermakna. Ia menyadari bahwa dirinya masih memiliki banyak kekurangan untuk
dikatakan sebagai muslimah sejati, jilbab yang dikenakannya pun masih belum
bisa dibilang syar’i. Namun, ia tetap yakin pada pilihan hatinya. Ia berpikir, biarin deh walaupun gerah atau
tidak lagi terlihat modis, yang penting kan ngga menjadi salah satu muslimah yang
melanggar perintah Allah. Mulai kini, kalau Mbak Uki nyuruh-nyuruh pake jilbab lagi,
Dira tinggal bilang “Pake jilbab? Siapa
takut?!”
0 komentar:
Posting Komentar